Rabu, 01 Mei 2013



                                                                   

*Cerita pendek adalah karya Puryanti ’12 sebagai karya terbaik ketiga dalam sayembara menulis departemen PMB periode April 2013

Lagi dan lagi, Ara yang sebenarnya bernama Tiara, terheran-heran. Ini sudah kesekian kali cewek cantik ini mendapat kejutan secarik kertas yang berisi sketsa wajah dirinya yang tergeletak di bangkunya. Dan ia tak pernah tahu siapa  yang memberinya kejutan tidak biasa seperti ini. Yang  jelas, orang tersebut pastilah sangat pandai menggambar dan memperhatikan dirinya.
Sketsa tersebut mirip sekali dengan Ara yang aslinya. Saat Ara di kantin atau saat Ara sendirian, orang misterius itu akan mulai melukis – menggambar  Ara dan besok pagi-pagi sekali dia akan meletakkannya di bangku Ara. Setidaknya itulah yang kini ada di benak Ara.
Dan sketsa hari ini adalah gambar saat Ara tertawa bersama teman-temannya di kantin kemarin.
Jujur saja Ara penasaran sekali dengan orang misterius ini.
“Cie… yang  punya pengagum rahasia….”
Ara menoleh saat seseorang seperti menyenggol bahunya dan kata-kata yang barusan ia dengar, seperti tertuju untukknya.
“Apa sih…” elak Ara. Dan tidak salah lagi, Raisa – teman sekelasnya telah berdiri di sebelahnya sambil tersenyum aneh. Ara tahu dia sedang menggodainya.
“Loe buat gue iri tau. Baru satu bulan pidah ke sini, tapi sudah punya pengagum rahasia,” kata Raisa sebari duduk di bangkunya. Kebetulan juga Raisa ini satu bangku dengan Ara.
Ara mengikuti. Ia pun duduk di bangkunya – di sebelah Raisa. Ia lalu mengambil satu buah buku dari dalam tasnya dan membukanya. Ara meletakkan kertas sketsa wajahnya di sana.
“Hari ini sudah sketsa yang keberapa?” tanya Raisa, melihat dalam buku tersebut ada banyak kertas sketsa Ara.
“Dua puluh lima,” jawab Ara sebari menutup bukunya dan memasukkanya kembali ke dalam tas.
“Luar biasa, dia benar-benar pengagum sejati. Dan gue rasa dia jatuh cinta pada pandangan pertama,” komentar Raisa. Ia merasa demikian karena melihat jumlah kertas sketsa yang Ara sudah kumpulkan. Berarti sekitar setelah lima hari Ara pindah SMA-nya ini, orang tersebut sudah memperhatikan Ara.
“Loe tahu ga kira-kira siapa siswa di sini yang pandai menggambar?” tanya Ara melihat pada Raisa.
“Setahu gue yang di kelas 11 tidak ada. Ada sih yang bisa melukis, tapi itu cewek.”
“Dan ga mungkin juga cewek itu ngasih ke gue sketsa-sketsa seperti itu,” Ara melanjutkan ucapan Raisa dan lalu ia dan Raisa tertawa bersama.
Tet~
Bel masuk berbunyi. Ara dan Raisa mengahiri tawa mereka untuk melihat ke arah pintu kelas.  Para siswa dan siswi yang sekelas dengan  keduanya, nampak berbondong-bondong buru-buru memasuki kelas.
Ara dan Raisa jadi terpaksa mengahiri obrolan mereka.

*******

Ara berpikir terlalu keras tentang sketsa itu dan ia jadi tak sempat melihat ke sekelilingnya. Ia tak menyadari seseorang sedang berlari dari arah yang berlawanan.
Buk~
Dan pada ahirnya Ara dan seseorang tersebut jadi bertabrakan hingga keduanya sama-sama tersungkur ke lantai.
“Aww,” seru Ara memegangi pantatnya yang terasa sakit setelah berbenturan dengan lantai.
Sorry… sorry…” ucap seseorang tersebut dengan nada cepet-cepat.
Ara melihat pada seseorang tersebut yang nampak tergesa-gesa mengambili kertas-kertas yang berserakan di sekitar mereka berdua. Nampaknya seseorang yang baru bertabrakan dengannya ini menyukai menggambar.
Ada beberapa komik Naruto yang seperti buatan tangan sendiri, diantara kertas-kertas yang berserakan itu. Meski sekilas saja melihatnya,  Ara sudah merasa takjub dengan gambar-gambar tersebut karena terlihat begitu mirip dengan komik-komik asli yang dijual di toko-toko buku.
Entah kenapa tiba-tiba Ara jadi ingin mengambil dan melihat lebih dekat pada salah satunya. Diam-diam Ara mengambil kertas yang paling dekat dengannya.
Mendadak mata indahnya terbelalak. Cewek berambut lurus ini pun seketika berdiri. Ia tidak mendapati komik Naruto seperti halnya di kertas-kertas lain, malah sketsa wajah dirinya yang di sana.
Dan seseorang tersebut mulai menyadari seperti ada yang tidak beres. Ia pun lantas berdiri setelah selesai memunguti kertas-kertas miliknya.
Ara masih melihat   – menerawang pada kertas tersebut.
“Ini…,” lirih Ara yang tak ia lanjutkan. Ia terlalu terkejut dengan semua ini, ia jadi tak dapat berkata-kata.
Ara melihat pada seseorang tersebut – seorang cowok yang mengenakan seragam yang sama dengan dirinya. Mendadak cowok itu meraih lengan Ara, mengajak cewek cantik ini entah kemana.

                               *******

“Ini,” cowok itu menyodorkan sebuah kertas kepada Ara.
Dengan ragu-ragu Ara menerimanya. Masih dengan keterkejutan sebelumnya, Ara kini seolah ditimpa kembali sebuah kejutan yang lebih besar lagi. Dalam kertas tersebut terdapat gambar sketsa gadis kecil yang tengah tertawa lepas sambil bermain di pinggiran pantai. Ara terkejut tentu saja. Gadis kecil tersebut, Ara tahu persis. Gadis dalam sketsa tersebut merupakan Ara sendiri yang saat itu masih berusia 8 tahun.
Dari mana dan bagaimana bisa cowok di sebelahnya ini mendapatkan sketsa dirinya saat masih kecil? Ara langsung saja melihat pada cowok tersebut, kali ini lebih serius.
“Gue Fahrizal. Mungkin loe ga kenal gue, tapi gue tahu loe,” ujar cowok tersebut.
“Apa maksudnya semua ini? JELASIN!” teriak Ara pada ahirnya. Kebingunan demi kebingunan di kepalanya seolah mengaduk-aduk emosinya juga. Ia tidak butuh tahu nama atau apaun, Ara hanya butuh penjelasan tentang sketsa-sketsa yang diterimanya. Cowok ini – Fahrizal, terlalu bertele-tele.
“8 tahun yang lalu, saat gue sedang menggambar pemandangan pantai Anyer gue melihat sesuatu yang lebih indah untuk gue gambar. Seorang gadis kecil yang manis dan membuatku terpesona saat itu juga. Bahkan sampai detik ini gue ga pernah bisa lupa wajah gadis kecil itu. Gadis itu adalah dirimu, Tiara.”  Fahrizal masih dengan ketenangannya. Ia tak terpancing sama sekali dengan nada keras bicara Ara beberapa saat yang lalu.
Perlahan, Ara kembali dapat menguasai dirinya kembali. Ajaibnya, ia malah jadi takjub dengan Fahrizal. Ia benar-benar tak menyangka.  
“Saat gue ingin bertemu dan memberikan gambar itu sama loe, kata ayah gue, loe dan keluarga loe sudah meninggalkan Anyer. Yang ngebuat gue sedih saat itu, gue ga pernah tahu kapan gue bisa memberikan gambar itu dan ngungkapin perasaan gue ke loe. Tapi gue senang sekali saat melihat loe ada di sekolah gue satu bulan yang lalu. Gue jadi sering mencuri-curi pandangan sama loe, supaya gue bisa ngelukis loe secara diam-diam. Gue minta maaf.” Fahrizal bercerita panjang lebar.
Deg~
Deg~
Ara merasakan jantungnya mengetuk-mengetuk dari dalam sana. Jujur saja, Ara dari tadi tak melepaskan pandangannya pada sososk Fahrizal. Dan ia akui Fahrizal memang perfec : tinggi, dan… ganteng. Hati Ara jadi  seperti dipenuhi oleh bunga-bunga karena dikagumi sosok seperti Fahrizal.
“Kalau tahu kita satu sekolah sekarang, kenapa loe ga  nemuin gue dan memberikan sketsa itu secara langsung. Kenapa justru mengirimkan sketsa demi sketsa setiap hari?” tanya Ara.
“Itu tidak mungkin. Kalau gue memberikan sketsa itu secara langsung, gue ga bisa ngendaliin diri gue buat ngungkapin persaan gue ke loe.”
“Ungkapin aja, mungkin gue bisa pertimbangin semuanya.” Ara menutup bibirnya langsung, dan menepuk-nepuknya. Ia keceplosan, ia tak dapat menutupi kekagumannya pada Fahrizal. Sepertinya dirinya merasakan yang  Fahrizal alami,ia jatuh cinta pada pandangan pertama.
Fahrizal tersenyum kecil. Ia mengalihkan pandangannya dari Ara. Ia menerawang kembali ke depan – ke hamparan danau yang hijau. Tadi ia memang mengajak Ara ke danau dekat sekolah.
“Karena gue ga mungkin memiliki dirimu. Gue sudah dijodohkan  oleh orangtua gue. Dan setelah lulus SMA tahun ini, gue dan calon gue itu bakal tunangan dan melanjutkan kuliah bersama ke Paris. Gue hanya bisa sebatas nunjukin perasaan gue ke elo ini lewat sketsa-sketsa itu, agar loe bisa tahu bahwa ada seseorang yang selalu memperhatikan loe meski dia tak dapat menggapai loe.” Fahrizal menarik nafas beratnya. “Dan seharusnya gue ga ngngkapin semua ini. Loe… loe boleh sebut gue sebagai pecundang.” Fahrizal merasakan matanya menghangat. Ia kembali menarik nafas beratnya yang panjang. Ia tidak boleh menangis di sini -  sekarang. Demi Tuhan, kau cowok, Fahrizal. Bagaimana pun juga, pantang laki-laki menangis apalagi di depan cewek..
Tes~
Cairan bening yang telah mengumpul di pelupuk mata Ara pun perlahan mengalir juga, menuruni pipi cewek cantik itu. Ia seolah baru diangkat ke awang-awang dan dengan begitu saja ia dijatuhkan. Sakit, sakit sekali.
Seharusnya ia tadi menolak diajak Fahrizal. Seharus mereka tak pernah bicara apapun. Ia tidak akan merasakan sesakit ini – cinta yang diruntuhkan saat baru sesaat bersemi.  Kejam.

                  ~SEKIAN~

*Artikel karya Ulil Amri Fathoni '10 sebagai karya terbaik ke dua dalam sayembara menulis departemen PMB periode April 2013


“kamu mau permen gak?”
“permen?”
“iyaa, permen karet. Mau gk?”
“boleh deh. Beli dimana Yang (dibaca SaYang)?
“Di internet. Coba-coba sih.”
“Ow..” (Nyamm.. Nyamm..)
---
“Yang..”
“Apa?”
“Koq rasanya gini ya?”
“Maksudnya?”
“Koq.. Rasanya pengen *tiiit*” (Sensor)
“Hah?”
“Yang.. Ayok”
“Ayok apa?”
“Waaaa...”
Tiitttttt... (Moment was Sensor)

Fenomena akhir2 ini tentang ‘barang’ ini emang banyak menimbulkan gembar-gembor di masyarakat. Di twitter, facebook, tevisi, radio banyak yang membahas isu ini. Semakin gencar ketika ditemukan kasus-kasus yang memberikan bukti bahwa adanya suatu efek yang timbul setelah konsumsi permen karet ini. Lalu, bener gak sih permen ini itu ngasih efek rangsangan itu? Bener gk ada kandungan viagranya?

Dilakukan penelitian di Fakultas Farmasi Unair untuk mnguji hal ini. Dan hasilnya, belum diidentifikasi senyawa Viagra (dalam kimia kemudian disebut dengan Sildenafil) beserta turunannya. Lalu, dari mana efek yang ditimbulkan setelah konsumsi barang ini? Belum dapat dipastikan dan masih dalam penelitian lanjutan. Tetapi, beberapa sumber menyatakan efek samping dari barang ini bisa sampai kematian.

Kemudian dari hasil ini terdapat beberapa spekulasi yang beredar. Salah satunya adalah bahwa sebenarnya produsennya hanya membuat gembar-gembor isu untuk meresahkan masyarakat. Membuat para orang tua khawatir pada anak-anaknya. Terutama untuk menurunkan moral remaja Indonesia. Jika  ini benar, maka seharusnya, kita, seharusnya tidak mentah-mentah menerima isu2 yang beredar. Karena beberapa saksi yang mengkonsumsi pun juga tidak mendapatkan efek tersebut.

Well, overall, meskipun belum teruji secala ilmiah, kita harus tetap waspada terhadapa barang2 ini. Untuk suami istri pun kalo untuk memperbaiki kualitas hubungan mereka jangan memakai barang ini. Bisa konsumsi obat2 herbal yang sudah terbukti secara klinis dan efek samping yang rendah. Apalagi ada isu yang berkembang, etelah permen cinta ada barang lagi, Sex DROPS. Peningkat gairah seks berupa sediaan tetes. Apa ini juga hanya isu saja? Everybody must be wary!.





*Cerita pendek karya Muhliseh '11 sebagai karya terbaik pertama dalam sayembara nulis departemen PMB periode April 2013

Seni bukan hanya  partitur yang diekspresikan lewat musik, pun  pula warna yang dicurahkan pada kanvas”

            Aku dipaksa untuk belajar membunuh ingin dan ambisiku menjadi pelukis, dan sebagai gantinya, setiap hari aku harus mendengar ajaran ibu Rika yang rutin menjejal otakku dengan segala macam partitur karya Bethoven ataupun sang maestro legendaris, Mozart, yang selalu dikagum-kagumi oleh hampir seluruh pianis dunia. Aku akui itu karya yang hebat, bernilai seni tinggi. Tapi seni tertinggi bagiku adalah seni lukis. Aku lebih mengagumi Michaelangelo Buonarroti, Pablo Ruiz Picasso dan tentu saja Leonardo da Vinci dengan mahakaryanya Monalisa dan the Last Supper.
            Obsesi  Bundaku yang juga berprofesi sebagai musisilah yang membuatku seperti ini. Rasanya seperti pengagum seni yang salah sasaran menyalurkannya.
¤§¤
Hari ini seleksi masuk orkestra yang diadakan oleh Dewan Kesenian Indonesia untuk mencari pemain-pemain berbakat di seluruh Indonesia. Dan sudah barang tentu aku divorsir sejak 2 bulan lalu, terus berkutat dengan partitur telah membuatku mencapai ambang batas kepenatanku. Aku lelah terus didikte.
Pagi buta sebelum orang rumah terbangun, aku sudah menyisir jalan dengan mobil Mercedes Benz E Class tipe E 300 milik Papa. Entah kemana....
Mentari hendak tersenyum renyah, aku berhenti di suatu pantai. Sunrise ini terlihat begitu memukau, sunyi sepi menambah romantisme kedamaian hati. Sepi, mungkin hanya aku seorang di sini. Riuh ombak saling beradu dengan angin, seolah membentuk simfoni yang lebih indah dari gubahan Mozart ataupun Bethoven.
“Aauu...” teriakku ketika tak sengaja tubuhku terbentur seseorang.
“Ehmm ! Gadis manis berjalan sendiri di pantai sepagi ini. Lagi kabur dari masalah ya ?”
Mau apa laki-laki ini ?
Maksud anda ?”
“Hanya membaca saja dari sinar matamu ”
“Anda siapa ? Berani sekali anda mengambil kesimpulan seperti itu”
“Perkenalkan, saya Leonardo Da Vinci” ia menjulurkan tangannya.
“Leonardo Da Vinci ?....haha...”tawaku meledak mendengar sosok lelaki berperawakan brewok mengakui dirinya sebagai Leonardo Da Vinci. “Kalau begitu aku adalah Monalisa”
Iapun turut tertawa mendengar jawabanku. “Teman-teman biasa memanggil aku Vinci, pelukis yang gila mengejar pemandangan ekstrim. Kamu ?”
“Lisa”
“Tapi bukan Monalisa kan ?...hehe”
“Bukan, namaku Alisa Mafazyan ”
Sambil menyisir pantai dan membiarkan kaki dijilat oleh air laut yang menepi, kami berbincang. Akupun larut menceritakan tentang ambisiku yang harus rela terbunuh hanya untuk menjadi sang pianis hebat dambaan Bunda.
Aku diajaknya ke suatu bangunan atau mungkin lebih tepat menyerupai rumah tak jauh dari pantai, ia sebut sebagai museum pribadi. 3 ruangan masing-masing berukuran sekitar 10x10 meter itu dipenuhi berpuluh atau mungkin seratusan lukisan.
Banyak cerita mengagumkan aku dapatkan dari orang yang baru saja aku kenal ini, seperti saat ia berburu isnpirasi hingga ke pelosok hutan memotret kehidupan primitif di atas kanvas di pedalaman Irian. Aku kagum melihat karyanya, mendengar ceritanya.
“Mau lihat maha karya Leonardo da Vinci ?”
“Mana, om ?”
Segera ia menyingkap kain putih penutup kanvas berukuran 2x2 meter. Nampaklah potret lukisan seorang wanita dengan rambut terurai bergaun biru tua sedang tersenyum manis ke arahku, latar tempatnya mirip dengan Monalisa karya Leonardo da Vinci yang asli.
“Monalisa 30 agustus 1994”ku baca goresan kecil di pojok kiri bawah lukisan itu.
“Sudah ku bilang kan ? Ini mahakarya Leonardo da Vinci...hehe...”
“Dia siapa, om ?”
“Masa lalu. Ini lukisan pertamaku yang berukuran 2x2 waktu sekolah dulu”
“Pasti dia orang yang spesial”
“Hehe...seperti itulah. Tapi takdir tak mengizinkan kami bersatu, karena dia terobsesi menjadi pianis hebat dan melanjutkan studinya ke Eropa. Dulu aku sempat belajar sedikit tentang musik darinya, terutama piano. Kami sering menghabiskan waktu dengan duet bermain piano atau sekedar membunuh waktu luang akhir pekan di danau, untuk menemaniku melukis”
“Wah, romantis sekali ya, om ?Kalau boleh tahu siapa namanya, om ?”
“Rossa, ya Ika Aulia Rossa”
“Nama Bundaku juga Rossa, om...hehe..tapi Medhiana Rossary, Bundaku juga seorang pianis, sempat belajar di Praha”
 “Iya ? ”
“Iya, om”
Ku tolehkan pandangku pada 2 piano klasik yang saling berhadapan terpajang di pojok ruangan.“Itu piano siapa, om ?”
“Dulu aku dengan Rossa sering memainkannya berdua, Rossa pengagum Mozart, hampir semua 17 sonata untuk piano karya Mozart kami memainkannya”
“Wah, berarti om juga pintar main piano ya ?”
“Yah, begitulah. Mau duet dengan om ? kita mainkan gubahan Mozart, symphoni no. 40”
 “Ok Om”
Bergegaslah kami menuju piano itu yang sepertinya sudah lama tak dipakai. Selama kurang lebih sepuluh menit kami bermain bersama. Jemarinya lincah memainkan simfoni itu. Padahal dia sudah lama tidak memainkannya, malu rasanya aku yang setiap hari akrab dengan tuts piano melihat keahliannya.
“Wah, om hebat, pintar melukis juga bisa main piano, jarang lhoh orang kayak om ini, multi talenta”
“Jangan terlalu memuji. Justru memang seharusnya begitu, jika mengaku pecinta seni, tidak hanya mengenal satu seni saja. karena seni itu bukan musik, bukan lukis, bukan puisi, tapi seni adalah seni. Seni memiliki keindahannya sendiri untuk menafsirkannya lewat lagu, lukisan, puisi ataupun nyanyian. Tergantung kita sendiri mau memilihnya yang mana”
Ponselku berdering. Panggilan dari Bunda.
¤§¤
“Permisi, om...aku mau pulang dulu. Sebentar lagi aku ikut kompetisi. Do’akan ya Om”
“Iya, good luck ya, Lisa. Kapan-kapan main ke sini lagi ya ?”
“Sip deh. Thanks, Om”
Segera aku menuju mobil untuk pulang. Lebih tepatnya menuju tempat kompetisi karena 2 jam lagi sudah akan di mulai. Entah, aku sudah tidak punya alasan yang kuat lagi untuk kabur atau menghindar dari kompetisi itu, karena seni bukanlah musik, seni bukanlah lukis, tapi seni adalah seni. Aku adalah pecinta seni yang akan mengungkapkan keagungan seniku dengan musik kali ini. Terimakasih Om Vinci.
¤§¤
            “Tampillah sebaik yang kamu bisa, sayang...Bunda tidak akan memaksa kamu untuk menjadi yang terbaik”tukas Bunda di sela-sela kegiatannya  mendandaniku.
            “Iya, Bunda itu pasti.....nanti Papa ke sini kan buat ngeliat aku ?”
            “Papa masih ada kerjaan, mungkin akan telat datang. Ga’ apa-apa, kan sudah ada Bunda sama Danish”
            Kak Danish ? Yah, si Mozart junior yang Bunda banggakan.
            “Peserta selanjutnya atas nama Alisa Mafazyan dengan no peserta 48, akan membawakan karya Wolfgang Amadeus Mozart, Elvira Madigan, Symphony No. 40 in G Minor”
            Hufh ! simfoni itu baru aku mainkan dengan Om Vinci.Tenang, santai, mainkan.
            Ku coba menetralisir gugup ini. Tenang, santai, atur emosi dan mulailah menari wahai jari-jariku. Lagu ini, musik ini, menyatulah dengan jiwaku. Tak ada lagi penat dan kejenuhan. Menyatulah dalam jiwaku, mengalirlah dalam aliran darahku. Nyanyikanlah warna-warna yang selalu ingin aku lukiskan. Gambarkanlah perasaan yang selalu ingin aku tuangkan lewat kuas dan kanvas, berpadu menjadi alunan merdu pianoku ini. Saksikanlah, ini simfoniku, ini sonataku.
Suara riuh tepuk tangan membangunkanku dari ruang fikirku. Sudah selesai, telah usai ku tunaikan  seni musikku, simfoniku.
“Sayang, penampilan kamu bagus sekali....terimakasih sayang...”ucap Bunda sambil memelukku seusai turun dari panggung.
¤§¤
Berangkat dari hidupku yang ku pandang sebagai sebuah dogma, dogma yang kulihat tak ada bedanya menyerupai kaca jendela, aku menyaksikan kebenaran melaluinya, dan terkadang di biaskan olehnya. Kebenaran tentang seni bahwa ia tak pernah menyiksa penikmatnya untuk mengekspresikannya dengan musikkah, dengan lukisan atau gambarkah? Semua itu sama. Sama-sama berklimaks pada seni, seni yang agung, meski jalannya berbeda.
            Yah, inilah aku. Si pengagum seni yang mungkin dulu berfikir salah sasaran untuk melampiaskannya, tapi kini kusadari seni tak pernah salah, tak pernah menuntut melalui apa dia ingin diungkapkan. Lewat musik dan lukis. Karena seni adalah seni. 

             



Sabtu, 27 April 2013 lalu telah diselenggarakan forum temu kementrian / departemen KOMINFO (Komunikasi dan Teknologi Informasi) antar pengurus CSS MoRA PTN dengan CSS MoRA Nasional. Acara berlangsung mulai pukul 09.00 pagi di wisma bahagia kampus IAIN Sunan Ampel Surabaya dan dihadiri oleh masing-masing delegasi CSS MoRA IPB, UPI, UIN SYARIF HIDAYATULLAH, UIN SUNAN KALIJAGA, UGM, UIN WALI SONGO, UIN MALIK IBRAHIM, UNAIR, IAIN SUNAN AMPEL, dan ITS.
                
Acara dibuka oleh Iman Herlambang, sekretaris CSS MoRA mewakili Imam Sahal R., Ketua CSS MoRA yang berhalangan hadir saat itu.  Beliau menyampaikan, harapan dari adanya forum temu kominfo  adalah meningkatkan koordinasi antar pengurus kominfo sehingga nanti tercapai fungsi komunikasi  yang efektif dan efisien baik ke arah internal CSS MoRA maupun eksternal masyarakat umum.
                
Forum temu pengurus kominfo yang dipimpin oleh Muhammad Adi Setiawan selaku kepala kementerian kominfo CSS MoRA ini diawali dengan perkenalan antar delegasi. Kegiatan ini secara garis besar dibagi menjadi 2 sesi yaitu sosialisasi program kerja kominfo CSS MoRA dan sharing program kerja CSS MoRA PTN. Program kerja kominfo CSS MoRA yang didiskusikan antara lain pengelolaan website, radio online, official account FB-Twitter, dan update database. Diskusi menjadi seru ketika membahas teknis jalannya program kerja tersebut , hal ini karena semua delegasi CSS PTN menunjukkan antusiasme yang cukup tinggi. Peserta forum tidak segan mengkritisi, mengajukan argumen pada sesi curah pendapat untuk menyamakan persepsi dalam operasional pelaksanaan program kerja. Sesi selanjutnya sharing program kerja CSS MoRA PTN, setiap delegasi menyampaikan program kerja dan keunikan/kekhasan kominfo tiap PTN seperti CSS MoRA UA yang menyusun buku induk/profil anggota angkatan tertua, CSS MoRA ITS yang mempunyai sistem jarkom pusat melalui alat dan aplikasi khusus, CSS MoRA UIN Syarif Hidayatullah yang menyusun kaleodoskop (pembukuan kegiatan selama setaun kepengurusan), dan masih banyak keunikan atau keunggulan dari PTN lainnya yang bisa dijadikan referensi atau teladan periode kepengurusan selanjutnya.
               
Akhir kegiatan ditutup dengan ramah tamah antar delegasi, panitia, dan pengurus kominfo nasional. Semoga apa yang dirumuskan pada forum ini dapat terlaksana dengan baik dan membawa CSS MoRA menjadi lebih istimewa, karena sebaik apapun suatu rencana tidak akan sempurna bila tidak direalisasikan dan diiringi kesungguhan. (kontributor: Lidyana ’11)

oleh ustadz AFRI A.
08 maret 2013/25 Rabi'ul Akhir 1434
 
Hal – hal yang perlu di perhatikan dalam menuntut ilmu :
*Menata niat. karena “INNAMAL A’MALU BINNIAT”. Niatkanlah mencari ilmu karena ALLAH SWT.
*Jangan membicarakan kekurangan dari guru (NGRASANI GURU).
*Hormatilah guru dan keluarganya
*Biarkanlah ALLAH yang memberi kepada kita,tanpa kita mencari tahu bagaimana ALLAH mengajarkannya kepada kita.
*Barang siapa mengajarkan satu ilmu kepada orang lain,niscaya ALLAH akan mengajarinya ilmu yang dia tidak tahu.
 
Ada 4 masa pendidikan menurut Islam :
1.Masa ROSULULLAH
2.Masa khulafaur rosyidin
3.Masa Bani umayyah
4.Masa keruntuhan di baghdad hingga sampai sekarang.
 
Di masa peralihan masa bani umayyah dan masa keruntuhan di baghdad itulah syekh ZARNUJI mengarang kitab TA’LIMUL MUTA’ALIM yang mana ketika itu beliau melihat banyak orang yang menuntut ilmu tetapi salah jalan,tidak berhasil dan bahkan tidak mendapatkan manfaat dari ilmunya atau buah dari ilmu yang dipelajarinya. Oleh sebab itu, mengapa sekarang ini banyak sarjana2 pengangguran. Salah satunya disebabkan karena jalannya atau caranya menuntut ilmu salah. Maka dari itu,sangatlah penting kita terus mempelajari dan mengamalkan isi kitab TA’LIMUL MUTA’ALIM.
 
Ada 4 hal inti kitab TA’LIM MUTA’ALIM (menurut Kyai Kholil Bisri):
1. Karunia ALLAH. Karunia ALLAH di peroleh dengan doa yang sungguh-sungguh dan kesungguhan.“MADU YANG DI SEKITAR SARANG LEBAH TIDAK DI HINGGAPI SERANGGA”. Artinya santri harus steril dari pengaruh negatif,baik mata,tangan,kaki,dan mulut kita,agar kita bisa mendapatkan karunia ALLAH.
2. Belajar yang sungguh-sungguh.“MAN JADDA WA JADA”“Menuntut ilmu itu bukan hanya sekedar menuntut ilmu,tapi bagaimana itu bisa menambah ketaqwaan”
3. Dekat dengan guru. Kita harus tunduk dan patuh terhadap guru selama sesuai ajaran agama. Dan kita juga harus menghormati keluarga beliau. Di dalam menuntut ilmu,kita tidak memandang guru kita islam atau non islam, selama tidak merusak akidah kita. “ LAKUMDINUKUM WALIYADIIN”
4. Sanad yang jelasDi dalam menuntut ilmu,kita harus punya sanad. Sanad sebagian dari mata rantai agama. “BARANG SIAPA YANG MENJADI GURUNYA BUKU(HANYA BELAJAR LEWAT BUKU SAJA),MAKA YANG MENDIDIKNYA ADALAH SYAITHON”
 
"Hanya Dengan Ilmu Yang Diamalkan,Manusia Akan Mulia Sepanjang Zaman"

Wallahu a'lam