Selasa, 11 Juni 2013

Cerpen karya Wulan 2010 dalam sayembara menulis Departemen PMB CSS MoRA UA
Hujan subuh ini membuatku semakin nyaman melanjutkan tidurku setelah sholat shubuh. Entah mengapa rasanya ada peri-peri tidur kecil yang menyanyikan lagu nina bobok, sembari menarik-narik kelopak mataku. Alhasil mereka pun berhasil. Padahal aku selalu diwanti-wanti oleh orang tua untuk tidak tidur setelah shubuh. Kata ibunda Azam di film ketika cinta bertasbih kalau tidur setelah shubuh itu, rejeki kita hilang dipatuk ayam.
Tak lama setelah aku terlenakan oleh peri-peri kecil itu, akupun terbangun dengan perasaan agak terkejut. Waktu di handphoneku menunjukkan pukul 06.15, padahal aku ada kuliah jam 7 tepat dan dosennya tidak akan memberi toleransi. Waduh…bisa-bisa nanti aku disuruh tutup pintu dari luar. Akhirnya aku melompat menuju kamar mandi dan melanjutkan untuk sholat dhuha. Tak lama kemudian handphoneku bergetar dan sms lewat memberi tahu bahwa kuliah pagi ini ditunda dan tidak ada kabar mengenai kenapa dosennya tiba-tiba meniadakan kuliah hari ini. 
Peri-peri tidur kecil itupun mulai berdatangan lagi untuk menyanyikan lagu nina boboknya. Tapi kali ini aku yakin mereka tidak akan berhasil, karena kantukku sudah tersembuhkan dengan dinginnya air pagi itu. Entah mengapa tiba-tiba mataku tertarik pada gerak-gerik si ‘L’ ikan kokiku. Yah, aku memang memelihara ikan koki dalam sebuah toples bening yang aku letakkan diatas meja belajarku bersanding dengan buku-buku kuliahku. Rintik-rintik hujan yang masih berlanjut sejak shubuh tadi membuatku terbawa suasana. Akupun memandangi ‘L’ dan mulai malamun. Gerak-gerik ‘L’ membawa pikiranku kembali ke sebuah suasana dimana hujan juga turun kala itu.
Hai ‘L’, sore itu adalah hari ahad. Kebetulan semua anggota keluargaku sedang berkumpul. Suasana sore itu juga hujan. Dan Kebetulan hujan sore itu adalah hujan pertama. Bau tanah yang terkena tetesan air hujan menghasilkan bau yang khas dan harum. Ditambah lagi tetesan air hujan yang tidak sebegitu deras membuat suasana sore itu menjadi sangat lembut. Apalagi langit tidak sepenuhnya mendung, namun masih ada beberapa cahaya matahari yang tersisa. Sehingga warna yang dihasilkan pun sangat indah yaitu kuning kemerah-merahan. Kami sekeluarga akhirnya memutuskan untuk menikmati suasana hujan pertama sore itu di teras rumah. Bocah-bocah desa pun keluar rumah untuk bermain hujan-hujanan. Terlihat wajah mereka sangat ceria dan gembira. Tidak ada satu pun kesombongan yang terlintas dari wajah polos mereka. Semua berbaur menjadi satu dibawah tetesan air hujan. Cekikikan tawa mereka semakin menambah irama hujan sore itu.
“Awaaaassssssssssssssssss……………….”. teriak somat, putra bapak sanaji tetangga samping rumah yang melempar gumpalan lumpur ke arah temannya.
“waduh, awas koen[1]?”, timpal iqbal ketika terkena lemparan lumpur somat.
Akhirnya mereka pun saling lempar, dan perang lumpur tak terlekakkan. Sungguh menurutku suasanannya tidak bisa dijelaskan secara detail dalam sebuah karya novel sastra terbaik pun.
Semalaman hujan turun, pagi harinya matahari terbit sangat cerah. Sinarnya mampu membangkitkan semangat warga desa. Meskipun desa atau kampung halamanku tidak terletak di sebuah daerah pegunungan atau dataran tinggi, tapi sawah yang luas masih terlihat hijau di depan dan di belakang rumahku. Sebagian tetanggaku bekerja menjadi petani. Sebagian yang lain menjadi karyawan swasta. Untuk bapakku sendiri bekerja menjadi supir swasta, dan ibuku mengabdikan diri dirumah untuk merawat anak-anaknya termasuk aku. Dahulu keluarga kami juga mempunyai beberapa bidang tanah sawah, namun semua terjual habis karena kami membutuhkan uang saat itu. Begitu juga dengan warga desa yang lain. Namun hal yang sama juga terjadi. Kini, hanya beberapa orang saja yang masih mempunyai tanah sawah. Namun perbedaan tersebut tak mengahalagi hubungan sosial antara warga desaku. Semua rukun, guyub, aman, dan sejahtera.
Hai ‘L’ tahukah kau? Setiap panen tiba, bocah- bocah di desaku selalu berbondong-bondong pergi kesawah untuk mengambil sisa-sisa panen ngasah istilahnya. Sembari ‘memanen’ kami bermain petak umpet dan kejar-kejaran. Setalah lelah ‘memanen’ dan bermain, kami berkumpul di rumah salah satu warga untuk nguleni[2]. Setalah terkumpul sekitasr satu kantong plastic, kami menjualnya pada pemilik sawah yang luas. Dan berapa ‘L’ yang kami dapat? Seribu rupiah. Jika dibandingkan dengan sekarang mungkin jumlah uang tersebut tidak bisa dibelikan apapun selain krupuk. Tapi, ketika itu dengan uang seribu rupiah, kami bisa membeli es campur. Rasanya sangat segar dan nikmat ‘L’, dan satu lagi yang tak terlupakan adalah kami meminumnya bersama-sama diatas pohon belimbing.
Tapi ‘L’, saat ini aku tidak bisa menikmatinya lagi. Selain sudah dewasa, tapi sebagian petak sawah di desaku sudah berubah menjadi perumahan. Sungai-sungai kecil di pinggiran sawah juga sudah mulai tertutup oleh sampah warga dan juga semak belukar. Tidak ada lagi orang yang membersihkannya, karena sungai tersebut sudah tidak digunakan lagi untuk mengairi sawah mereka. Begitu juga dengan sawah yang disekitar rumahku. Kini hanya ada sawah di bagian depan rumahku saja. Yang belakang uedah tertutup tanah perumahan. Banyak hal telah berubah dikampung halaman ku, ‘L’. orang-orang sudah jarang yang pergi ke sawah. Begitu juga bocah-bocah yang sudah melupakan tradisi ngasah. Tapi ada satu hal yang menurutku tidak berubah dari kampung halamaku, yaitu warganya yang rukun, guyub, dan sejahtera. Terbukti ketika aku pulang kampung saat liburan kuliah, mereka masih mengenaliku dan menyapaku dengan wajah gembira mereka ,’L’. meskipun ada beberapa dari mereka yang lupa namaku, namun mereka tetap menyapa meskipun hanya dengan senyuman.
Yah…’L’, suasana seperti inilah yang selalu membuatku rindu untuk pulang ke kampung halamanku. Meskipun menurutmu cerita kampung halamanku tidak sebegitu istimewa, ‘L’. tapi bagiku itu adalah segalanya. Aku dibesarkan di sana ‘L’, meskipun hanya sampai kelas 6 SD. Karena setelah lulus SD aku melanjutkan pendidikan ke pondok pesantren, dan kini kuliah di Surabaya. Satu lagi ‘L’, meskipun menurutmu ceritaku ini sangat umum dan sederhana. Tapi bagiku itu adalah sesuatu yang special. Jika aku boleh menyampaikan sebuah pendapat, maka akan kukatakan bahwa meskipun kau pergi ke paris untuk menikmati indanya menara eifeel malam hari, atau pergi ke jepang menikmati bunga sakura di musim semi, atau pergi ke india menimati megahnya taj mahal, bahkan ke beberapa daerah di Indonesia yang mempunyai gunung-gunung indah. Namun semuanya tidak akan pernah mengalahkan keindahan dan kenyamanan kampung halaman.
Satu lagi ‘L’, kemanapun kau pergi, tidak akan ada satu hal yang paling merindukan selain tanah kelahiran, yaitu kampung halaman.



[1] Artinya kamu, dalam bahasa jawa yang kasar, biasa digunakan untuk teman sebaya. Namun dianggap tidak sopan
[2] Kegiatan memisahakan biji padi dari batangnya dengan cara menginjak-ngijak dengan kaki

Berikut cerpen buah pena dari saudari Rizki Mubarokah sebagai The Winner of The Month dalam sayembara menulis Departemen PMB CSS MoRA UA 2013 dan berhak mendapatkan hadiah cantik dari PMB.  selamat membaca :)
“Ceprut…prut…prut.”
Suara semprotan air dari Paman membuatku geli. Aku membayangkan muka pasien Pamanku, pasti lucu sekali. Ah, Paman…
Aku sedikit meyayangkan perbuatan Paman tersebut. Bagaimana bisa, Pamanku yang dulunya lulusan pondok pesantren salafiyah dan seorang guru ngaji yang disegani di desaku tiba-tiba berubah profesi, masih mending kalau menjadi guru agama di madrasah atau guru apa sajalah, yang penting ilmunya tidak berhenti tetapi bercabang karena diamalkan. Lha ini pamanku kok bisa-bisanya menjadi dukun susuk. Apa tidak mengherankan?
Sejak aku tahu kalau Pamanku beralih profesi, aku jarang bahkan tidak pernah lagi kesana, orang tuaku juga membiarkan. Ibu malah pernah bilang padaku kalau Paman telah murtad (naudzubillah…). Kata Ibu, godaan orang yang sangat pandai itu besar.
Walaupun rumah kami berdekatan dan hanya dibatasi tembok setinggi badan orang  dewasa, kami tidak pernah saling menyapa alasan keluargaku karena takut ketularan, kalau Pamn, mungkin arena banyaknya tamu yang berkunjung ke tempat beliau sehingga paman akhirnya menjadi orang sibuk.
Pernah suatu ketika aku ingin melihat cara kerja Paman, tetapi setiap kuutarakan pada Ibu, ibu malah menasehatiku panjang lebar.
“Kalaupun ibu tidak mengizinkanmu, itu karena ibu sangat menyayngimu, ibu takut kamu ketularan Pamanmu itu. Nanti saja kalau sudah waktunya kita akan menyalesaikannya secara baik-baik, nak.” Panjang lebar ibu menasehatiku. “Lihat, Bu Ratmi saja yang putrinya kyai sekarang jadi ikut-ikutan. Kemarin niatnya mau menyadarkan Pamanmu, eh…sekarang malah keseret sendiri.”
“Emangnya bu Ratmi sering ke rumah Paman, Bu?’
“Ibu bilang beliau sudah keseret, ya otomatis dia sering datang lah, malahan sekarang semua pakaian Bu Ratmi benar-benar tertutup. Ibu ngeri melihatnya.” Ucap Ibu menggebu-gebu. Mungkin seperti inilah cara ibu-ibu tukang gossip yang sedang beraksi J.
“Memangnya baju seperti apa, Bu?”
“Ah kamu, itu lho…baju yang menutup seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan.”
“Apa ya?” aku tercengang.
---
Merem nggak bisa, mau melek males, mungkin karena suara-suara mobil yang berdatangan di rumah Paman itu yang membuatku susah tidur beberapa malam ini. Suara mantera-mantera yang dibacakan Paman kembali menggema diantara derum mobil-mobil itu. Kulihat jam yang sudah menunjukkan pukul 23.47. ah Paman, semalam ini Paman belum tidur. Ucapku dalam hati.
“Allahumma nekto dinulu ahub-ahub ing Allah, lailahaillallah muhammadurrosulullah salla Allahu ‘alaihi wasallam. Allahumma roh amadep ing nurullah, somad-somad kelawan roh idhofi, jism rupaku amadep ing cahaya, ning roh angadep uripku ing cahayane Allah…”*
Aku kembali mendengar manteranya, sedikit aneh memang kata-katanya. Mantera itu yang sudah kudengar berkali-kali dibaca bersama, meskipun kurang jelas aku tahu itu mantera yang sama. Apalagi ketika malam jumat seperti ini. Setiap aku mendengar mantera-mantera itu dibacakan, ada sesuatu yang kurasakan dalam jiwaku, entah apa. Seperti tenang, sejuk, ataulah apa. Mungkin aku ingin mengikutinya.
---
“Ima, bangun, Nak. Sudah subuh, nanti kesiangan sholat subuhnya.”  Suara Ibu terdengar seperti di mimpi. Ngantuk sekali rasanya, mataku sulit dibuka. “Ima, ayo bangun, nanti kalau kesiangan dimarahi Bapak.”
Aku memaksa diri untuk bangun, kulihat Ibu menyiapkan seragam batik yang akan kupakai hari ini.
Kulangkahkan kaki juga menuju kamar mandi dan berwudlu. Lalu aku, bapak dan ibu sholat berjamaah. Aku kaget, rasanya baru kali ini aku merasakan nikmatnya sholat shubuh dengan tenang dan kantukku yang tiba-tiba hilang.  Aku tidak tahu mengapa mantera-mantera itu tiba-tiba muncul dalam ingatanku.
            “Allahumma nekto dinulu ahub-ahub ing Allah, lailahaillallah muhammadurrosulullah salla Allahu ‘alaihi wasallam. Allahumma roh amadep ing nurullah…..”
            Selesai sholat, bapak memberitahukan keinginannya padaku dan ibu. Ternyata bapak berkeingina sama denganku, ingin melihat aksi Paman dalam mengobati pasien-pasiennya.
            “Lagi pula kita sudah mendiamkan Dek Sulis (nama Paman) sudah lebih dari tiga hari bahkan satu bulan.” Bapak berkata bijak.
            Aku semangat mendengarkannya, kulirik Ibu yang malah merengut seolah tidak setuju itu.
            “Seperti hadits nabi, kita tidak boleh mendiamkan saudara kita sesama muslim lebih dari tiga hari…”
            “Tapi Dek Sulis itu sudah murtad, Pak!” sanggah Ibu.
            “Siapa yang bilang begitu, Bu? Ibu itu kalau mau menilai sebuah rumah jangan dilihat dari luarnya saja, tapi masuk dulu. Begitu pula ketika menilai seseorang.” Bapak menimpalli.
            “Ah Bapak. Terserah lah. Ibu tidak mau ikut-ikutan.”
            ---
            Aku dan Bapak dibuat geli oelh Pamanku, ketika ada ibu-ibu datang ke tempat praktek Paman, sebelumnya aku sedikit takut ketika akan menyaksikan pengobatan susuk yang sering dibicarakn orang itu. Ibu-ibu tadi dengan wajah tegang masuk ke rumah Paman.
            “Assalamualaikum, Bu…” Sapa Paman kepada ibu-ibu tadi, ibu itu kaget dan sejenak berfikir…
            “Eh, waalaikumsalam.” Jawab ibu itu. Ini benar dukun susuk yang terkenal itu?”
            “Insya Allah.” Jawab Paman dengan santainya.
            Ibu itu lalu mengutarakan maksud kedatangannya kepada Paman. Karena jarakku terlalu jauh, aku hanya bisa mendengar sedikit obrolan mereka. Lalu aku berusaha mendekat, dan ternyata ibu itu ingin agar tubuhnya yang super gendut dan wajahnya yang penuh jerawat itu diubah, lalu kulihat ibu itu membawa sebuah berlian agar segera dimasukkan ke dalam tubuhnya.
            Lalu setelah beberapa saat Paman menyuruhnya memejamkan mata…
            “Susuknya sudah dipasang?” Tanya ibu itu heran.
            “Ibu, sebenarnya yang dimaksud susuk itu adalah dengan menjaga kecantikan hati kita. Bila ibu ingin langsing, maka puasa senin-kamis. Bila ibu ingin wajahnya cerah, maka basuh muka ibu dengan air wudlu minimal lima kali sehari. Bila ibu takut kulitnya hitam, maka pakailah jilbab besar. Apalagi? Pengobatan susuk disini membenarkan nilai-nilai islamnya…” Pnjang lebar penjelasan Paman, hingga aku tersadar satu hal, Paman hanya kewalahan dengan cara berdakwahnya hingga akhirnya beliau memilih jalan begini.
            ---
*warisan doa KH. Marzuqi Romli                                                                             

Yogyakarta, 3 September 2009
                                                                                                Dimuat di MP Tiilawah XIX/2009


Sabtu (09/06) Terdengar suara anak-anak kecil dan orang dewasa menyebut nama Allah dari suatu tempat. Terletak di sudut gang kecil berdiri musholla, musholla fii sabilillah, yang malam itu menghelat acara isro' mi'roj. Ya, musholla ini merupakan musholla yang dijadikan mahasiswa CSS MoRa UA sebagai tempat pengabdian. Agenda pertama dari acara isro' mi'roj ini adalah istighosah. Begitu ramai. Musholla kecil nan rapi ini telah menjadi tempat yang pas untuk mengadakan acra isro' mi'roj pada malam itu. Musholla berwarna putih bersih dihiasi dengan lampu warna-warni di tepi atap membuat siapapun yang hadir merasakan kenyamanan. Musholla bagian dalam telah dipenuhi oleh anak-anak dan mahasiswa CSS MoRa. Dikarenakan banyak yang hadir dalam acara ini, halaman depan musholla pun digunakan sebagai tempat duduk dan sholat. Walau dengan alas terpal, anak-anak kecil dan orang dewasa yang hadir tetap bersemangat mengikuti jalannya acara. Terdapat beberapa mahasiswa selain CSS MoRa yang turut menghadiri acara ini. Semua berbaur menjadi satu, saling mengenal satu sama lain.

Waktu berjalan kian cepat dengan menunjukkan jadwal sholat isya' telah tiba. Setelah istighosah, adzan pun berkumandang dari musolla fii sabilillah pertanda akan diadakannya shloat isya' berjamaah. Usai sholat isya', acara isro' mi'roj ini dilanjutkan dengan banjari. Banjari yang dimainkan oleh grup Al-Aamiin membuat hadirin di dalam maupun di luar musholla kembali bersemangat untuk terus mengikuti acara. Dengan banyak perut-perut lapar yang mengharapkan acara inti, yaitu makan-makan, acara ini masih terus berjalan dengan lancar. Acara terakhir sebelum acara inti, yaitu ceramah oleh ustadz Saifuddin yang berasal dari Sidoarjo. Pesan singkat dari ceramah ini yaitu "peliharalah sholat". Karena dengan memelihara sholat, kita dapat melawan hawa nafsu. Ada juga kalimat dari ustadz Saifuddin yang membuat hadirin dan hadirah tertantang. Kata ustadz Saifuddin, apabila kita menjalankan sholat berjamaah selama 40 hari penuh tanpa meninggalkan takbiratul uula sekalipun maka kita akan mendapatkan dua kebebasan. Yaitu kebebasan dari api neraka dan kebebasan dari sifat munafik. (tertarik nggak tuuh?? :D)

Alhamdulillah, semua urutan acara berjalan dengan lancar. Sampailah pada acara yang ditunggu-tunggu. Makan bersama, yang sebelumnya telah ditutup dengan doa oleh ustadz Saifuddin, yap! Semua turut berpartisipasi dalam acara ini. Ibu-ibu pengurus konsumsi, mahasiswa CSS MoRa, anak-anak kecil, serta mahasiswa lain yang hadir pun bersama-sama menyantap hidangan malam itu. Makanan dengan menu ayam kentucky dan air putih yang sederhana namun menyenangkan.
Usai makan, tampak wajah sumringah dari hadirin yang datang. Yaa, acara ini bukan hanya merupakan peringatan isro' mi'roj namun juga merupakan penyambung tali silaturrahim sesama umat islam. Satu sama lain saling mengenal dan hal tersebut menjadi sebuah pertemuan yang berkesan dalam acara iso' mi'roj tahun ini.
Sampai jumpa di acara isro' mi'roj tahun depan! ;)