Rabu, 24 September 2008

Hari ini terasa panas sekali. Apalagi kalau sedang berdesak-desakan di pasar tradisional seperti ini. Panasnya bahkan terasa berkali lipat. Hari ini aku sedang mencari sesuatu buat bapak. Sesuatu yang spesial buatnya. Besok lusa, bapak berulang tahun. Sudah lama aku tidak merayakan ulang tahunnya. Bahkan, ketemu saja aku tidak pernah. Semua ini karena aku merantau ke kota lain.

Ah, aku jadi teringat peristiwa itu…

"Buat apa tho kuliah iku? Bapak yo ora duwe dhuwit, Le, buat bayar. Toh, di rumah ada sawah. Sawah itu aja kamu rawat."

"Bapak, aku ora minta Bapak buat bayarin kuliahnya Arman. Arman cuma minta doa restu Bapak. Arman mau kuliah sambil kerja di sana, Pak."

"Kerja apa? Lha wong ijazah kamu cuma lulusan SMA."

"Ya wis, Bapak juga tau toh kalau ijazah SMA itu tidak ada apa-apanya. Makanya, Bapak izinkan Arman kuliah."

"Pokoknya, Bapak ora ngijinin kamu kuliah. Kamu harus tetep di rumah bantu Bapak di sawah."

Aku langsung pergi ke kamar setelah mendengar perkataan bapak. Entah apa yang kurasakan saat itu. Bingung? Mungkin juga. Benar kata bapak, mencari kerja dengan ijazah SMA sangat sulit. Yang punya ijazah sarjana saja masih sulit nyari kerja, apalagi aku.

Tapi, kalau aku tidak kuliah dan cuma jaga sawah, aku juga tidak bisa meraih cita-citaku sebagai guru. Pikiranku terus berputar. Lama kelamaan, aku tambah puyeng.

Tok, tok, tok...
Kudengar suara ketukan pintu dari luar.
"Man, ini Ibu, Nak..."

Aku langsung membukakan pintu buat ibu. Saat itu, aku melihat wajahnya nan lembut. Rasa bingungku jadi hilang tak terbekas seketika itu juga. Namun, kulihat mata ibu yang memerah bekas tangisan. Mungkin, tadi ibu mendengar semua pembicaraanku dengan bapak tadi.

"Man, kamu ora usah ngelawan bapakmu tho, Nak. Bapakmu itu wataknya keras, ora bakal bisa berubah."

Mendengar apa yang ibu katakan, aku langsung kecewa. Padahal, selama ini ibu selalu membela dan memberi motivasi dalam segala keadaanku. Sekarang, ibu bahkan tidak memberiku semangat, malah menyuruhku menuruti kemauan bapak.

"Ibu kok gitu, tho. Ibu juga tau hidup di zaman sekarang tidaklah gampang. Yang bodoh akan menjadi buruh dan pembantu bagi yang pintar serta bermartabat tinggi. Ibu mau Arman jadi seorang petani selamanya?" ungkapku pada Ibu.

"Ibu tidak ingin punya anak lulusan sarjana, punya titel seorang sarjana pendidikan yang menjadi guru, yang punya mobil, atau yang bisa ngajak ibu jalan-jalan ke mana pun Ibu inginkan?" Kulihat ibu meneteskan air mata. Aku pun sebenarnya tidak tega mengatakan semua ini. Tapi, aku harus melakukannya.

"Ibu ingin, Nak. Ingin sekali. Tapi, kamu nanti bayar kuliahmu pakai uang apa? Bapak dan Ibu di sini ora bisa biayain kamu kuliah. Buat makan sehari-hari aja susah," kata ibuku sambil menangis.

"Bu, Arman bakal cari kerjaan supaya bisa biayain kuliah Arman sendiri. Walau berbekal ijazah SMA, Arman yakin, Bu."

"Man, kamu anak laki-laki Ibu satu-satunya. Kamu adalah anak yang paling Ibu sayangi. Mbak kamu udah berkeluarga, tinggal kamu yang kami punya."

"Justru karena Arman anak laki-laki satu-satunya, Bu, Arman merasa punya kewajiban. Arman pengin buat Ibu dan bapak bahagia, juga bisa memberangkatkan Bapak sama ibu untuk pergi haji," kataku meyakinkan ibu.

Ibu mengusap air matanya, "Kamu memang sama seperti bapakmu. Keras kepala." Ibu mengelus kepalaku sambil tersenyum tipis. Aku bahagia melihatnya. Ibu lalu keluar.

Aku bingung sekarang. Aku sangat menyayangi ibu. Sangat sulit untuk berpisah dengannya. Tapi, apa yang harus kulakukan sekarang? Tiba-tiba aku punya pikiran untuk kabur dari rumah. Mungkin, itu cara satu-satunya untuk membuktikan pada bapak dan ibu kalau aku bisa meraih cita-citaku.

Aku segera merapikan baju-bajuku dan mengambil semua uang simpananku selama ini. Aku hitung semua. "Alhamdulillah, ada tujuh juta. Tidak percuma aku menabung dan menyisihkan uang jajanku selama ini."

Lantas, kutulis sepucuk surat untuk ibu dan bapak.


Untuk Bapak dan Ibuku tercinta
Bapak dan Ibu... Arman menulis surat ini dengan linangan air mata. Dengan rasa sesal dan rasa sedih, Arman meninggalkan surat ini untuk Bapak dan Ibu. Bapak dan Ibuku tercinta, Arman sebenarnya tidak ingin meninggalkan Bapak dan Ibu dengan cara seperti ini. Tapi, Bapak dan Ibu tidak bisa mengerti apa yang Arman inginkan.

Arman hanya ingin meraih cita-cita dan bisa membahagiakan Bapak dan Ibu. Kelak, Arman janji akan pulang dengan membawa undangan wisuda Arman. Arman hanya meminta doa dan restu Bapak dan Ibu agar apa yang Arman lakukan dan cita-citakan dapat berhasil.

Maafkan Arman, ya, Pak. Ini semua demi masa depan Arman. Sekali lagi doakanlah Arman selalu agar bisa meraih cita-cita.

Ananda Tercinta Arman


Peristiwa itu selalu menjadi kenangan. Tapi, kali ini aku benar-benar membawa apa yang aku janjikan. Undangan untuk pelaksanaan wisuda yang akan dilaksanakan satu minggu lagi.

Lima jam lagi, aku akan tiba di terminal. Aku udah tak sabar ingin bertemu bapak dan ibu. Sudah lama sekali rasanya. Bagaimana ya ekspresi mereka nanti? Aku tersenyum-senyum sendiri. Hingga kemudian, aku tertidur.

***

Tak terasa, aku sudah sampai di terminal. Dari terminal ini, aku harus naik angkot untuk menuju desaku. Desaku memang agak terpencil, jaraknya lumayan jauh dari terminal. Sepanjang perjalanan, kuamati setiap jalan dan pemandangan di sekitar. Sudah banyak berubah dari saat kutinggalkan dulu.

Akhirnya, aku sampai di gerbang desaku. Saat itu, matahari berada tepat di atasku. Biasanya, orang-orang sedang pergi ke sawah sekarang. Aku segera melangkahkan kaki menuju rumah.

Rumahku tidak berubah. Catnya masih sama seperti dulu, hijau. Warna favorit Ibu. Halamannya juga tidak berubah. Hanya pohon mangga besar yang dulu sering kupanjat yang tidak ada.

"Assalamualaikum," aku tak sabar mendengar jawaban salamku.

"Waalaikumsalam," kulihat seorang perempuan berumur lima puluh tahunan keluar dari dalam rumah. Aku segera berlari dan bersujud di kakinya. Air mataku tak terbendung lagi. Akhirnya, aku bisa bertemu dengan ibu.

"Ibu…" segera kupanggil namanya. Ibu pun langsung menuntunku berdiri. Kupandangi wajahnya. Ibu menangis. Walau sudah tua, wajahnya masih kelihatan segar dan kecantikannya pun masih terlihat.

"Bu, Arman kangen Ibu… Bapak mana, Bu?" Aku berlari ke dalam rumah dan mencari bapak. "Pasti bapak lagi di sawah, ya, Bu?"

"Bu, ini Arman bawakan apa yang Arman janjikan pada Ibu dan Bapak, undangan wisuda. Selasa depan Arman diwisuda, Bu... Arman juga bawa pakaian untuk dipakai Ibu dan Bapak di wisuda nanti." Saat itu, kupandang wajah ibu. Dia menangis.

"Ibu ... kok menangis?" tanyaku.
"Bapakmu, Man...." Ibu bicara sambil menangis.
"Ada apa dengan bapak, Bu? Bapak masih marah sama Arman, ya?" tanyaku lagi.
"Bapakmu, bapakmu.... Bapakmu meninggal satu tahun yang lalu, Nak."

Aku kaget mendengar apa yang ibu katakan. Bungkusan plastik berisi pakaian Ibu dan Bapak langsung jatuh. Air mataku tumpah.

"Bapak....meninggal, Bu? Bapak telah meninggal? Nggak mungkin, Bu..." Aku segera memeluk Ibu. Aku merasa menjadi anak durhaka, tangisku pun semakin jadi.

***

"Man, makan dulu, Nak," kata ibu malam itu.
"Arman ndak lapar, Bu." Ibu menghampiriku.
"Man, bapakmu bahagia sekali ketika kamu berangkat. Setiap malam dia bangun dan mendoakanmu. Dia bangga punya anak seperti kamu, Man." Aku memandang wajah ibu.

Mendengar perkataan ibu, aku semakin bahagia. Apalagi, ketika hari wisuda tiba, gelar mahasiswa terbaik berhasil kuperoleh. Saat berjalan ke arah panggung, aku ingat bapak. Ribuan tepuk tangan kudengar. Di sebelah sana, kulihat ibu tersenyum bangga padaku.

"Bapak, semua ini kupersembahkan untukmu. Semua yang kuraih sekarang semoga menjadi kado yang membahagiakanmu di alam sana." batinku sambil menarik napas, menerima penghargaan dari rektor.
(Oleh: Fathul Abas)


Dipublikasikan di Jawa Pos, 24 Maret 2008
Dari pada kosong... ya kumasukin cerpen Q. hehehe