Selasa, 11 Juni 2013


Berikut cerpen buah pena dari saudari Rizki Mubarokah sebagai The Winner of The Month dalam sayembara menulis Departemen PMB CSS MoRA UA 2013 dan berhak mendapatkan hadiah cantik dari PMB.  selamat membaca :)
“Ceprut…prut…prut.”
Suara semprotan air dari Paman membuatku geli. Aku membayangkan muka pasien Pamanku, pasti lucu sekali. Ah, Paman…
Aku sedikit meyayangkan perbuatan Paman tersebut. Bagaimana bisa, Pamanku yang dulunya lulusan pondok pesantren salafiyah dan seorang guru ngaji yang disegani di desaku tiba-tiba berubah profesi, masih mending kalau menjadi guru agama di madrasah atau guru apa sajalah, yang penting ilmunya tidak berhenti tetapi bercabang karena diamalkan. Lha ini pamanku kok bisa-bisanya menjadi dukun susuk. Apa tidak mengherankan?
Sejak aku tahu kalau Pamanku beralih profesi, aku jarang bahkan tidak pernah lagi kesana, orang tuaku juga membiarkan. Ibu malah pernah bilang padaku kalau Paman telah murtad (naudzubillah…). Kata Ibu, godaan orang yang sangat pandai itu besar.
Walaupun rumah kami berdekatan dan hanya dibatasi tembok setinggi badan orang  dewasa, kami tidak pernah saling menyapa alasan keluargaku karena takut ketularan, kalau Pamn, mungkin arena banyaknya tamu yang berkunjung ke tempat beliau sehingga paman akhirnya menjadi orang sibuk.
Pernah suatu ketika aku ingin melihat cara kerja Paman, tetapi setiap kuutarakan pada Ibu, ibu malah menasehatiku panjang lebar.
“Kalaupun ibu tidak mengizinkanmu, itu karena ibu sangat menyayngimu, ibu takut kamu ketularan Pamanmu itu. Nanti saja kalau sudah waktunya kita akan menyalesaikannya secara baik-baik, nak.” Panjang lebar ibu menasehatiku. “Lihat, Bu Ratmi saja yang putrinya kyai sekarang jadi ikut-ikutan. Kemarin niatnya mau menyadarkan Pamanmu, eh…sekarang malah keseret sendiri.”
“Emangnya bu Ratmi sering ke rumah Paman, Bu?’
“Ibu bilang beliau sudah keseret, ya otomatis dia sering datang lah, malahan sekarang semua pakaian Bu Ratmi benar-benar tertutup. Ibu ngeri melihatnya.” Ucap Ibu menggebu-gebu. Mungkin seperti inilah cara ibu-ibu tukang gossip yang sedang beraksi J.
“Memangnya baju seperti apa, Bu?”
“Ah kamu, itu lho…baju yang menutup seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan.”
“Apa ya?” aku tercengang.
---
Merem nggak bisa, mau melek males, mungkin karena suara-suara mobil yang berdatangan di rumah Paman itu yang membuatku susah tidur beberapa malam ini. Suara mantera-mantera yang dibacakan Paman kembali menggema diantara derum mobil-mobil itu. Kulihat jam yang sudah menunjukkan pukul 23.47. ah Paman, semalam ini Paman belum tidur. Ucapku dalam hati.
“Allahumma nekto dinulu ahub-ahub ing Allah, lailahaillallah muhammadurrosulullah salla Allahu ‘alaihi wasallam. Allahumma roh amadep ing nurullah, somad-somad kelawan roh idhofi, jism rupaku amadep ing cahaya, ning roh angadep uripku ing cahayane Allah…”*
Aku kembali mendengar manteranya, sedikit aneh memang kata-katanya. Mantera itu yang sudah kudengar berkali-kali dibaca bersama, meskipun kurang jelas aku tahu itu mantera yang sama. Apalagi ketika malam jumat seperti ini. Setiap aku mendengar mantera-mantera itu dibacakan, ada sesuatu yang kurasakan dalam jiwaku, entah apa. Seperti tenang, sejuk, ataulah apa. Mungkin aku ingin mengikutinya.
---
“Ima, bangun, Nak. Sudah subuh, nanti kesiangan sholat subuhnya.”  Suara Ibu terdengar seperti di mimpi. Ngantuk sekali rasanya, mataku sulit dibuka. “Ima, ayo bangun, nanti kalau kesiangan dimarahi Bapak.”
Aku memaksa diri untuk bangun, kulihat Ibu menyiapkan seragam batik yang akan kupakai hari ini.
Kulangkahkan kaki juga menuju kamar mandi dan berwudlu. Lalu aku, bapak dan ibu sholat berjamaah. Aku kaget, rasanya baru kali ini aku merasakan nikmatnya sholat shubuh dengan tenang dan kantukku yang tiba-tiba hilang.  Aku tidak tahu mengapa mantera-mantera itu tiba-tiba muncul dalam ingatanku.
            “Allahumma nekto dinulu ahub-ahub ing Allah, lailahaillallah muhammadurrosulullah salla Allahu ‘alaihi wasallam. Allahumma roh amadep ing nurullah…..”
            Selesai sholat, bapak memberitahukan keinginannya padaku dan ibu. Ternyata bapak berkeingina sama denganku, ingin melihat aksi Paman dalam mengobati pasien-pasiennya.
            “Lagi pula kita sudah mendiamkan Dek Sulis (nama Paman) sudah lebih dari tiga hari bahkan satu bulan.” Bapak berkata bijak.
            Aku semangat mendengarkannya, kulirik Ibu yang malah merengut seolah tidak setuju itu.
            “Seperti hadits nabi, kita tidak boleh mendiamkan saudara kita sesama muslim lebih dari tiga hari…”
            “Tapi Dek Sulis itu sudah murtad, Pak!” sanggah Ibu.
            “Siapa yang bilang begitu, Bu? Ibu itu kalau mau menilai sebuah rumah jangan dilihat dari luarnya saja, tapi masuk dulu. Begitu pula ketika menilai seseorang.” Bapak menimpalli.
            “Ah Bapak. Terserah lah. Ibu tidak mau ikut-ikutan.”
            ---
            Aku dan Bapak dibuat geli oelh Pamanku, ketika ada ibu-ibu datang ke tempat praktek Paman, sebelumnya aku sedikit takut ketika akan menyaksikan pengobatan susuk yang sering dibicarakn orang itu. Ibu-ibu tadi dengan wajah tegang masuk ke rumah Paman.
            “Assalamualaikum, Bu…” Sapa Paman kepada ibu-ibu tadi, ibu itu kaget dan sejenak berfikir…
            “Eh, waalaikumsalam.” Jawab ibu itu. Ini benar dukun susuk yang terkenal itu?”
            “Insya Allah.” Jawab Paman dengan santainya.
            Ibu itu lalu mengutarakan maksud kedatangannya kepada Paman. Karena jarakku terlalu jauh, aku hanya bisa mendengar sedikit obrolan mereka. Lalu aku berusaha mendekat, dan ternyata ibu itu ingin agar tubuhnya yang super gendut dan wajahnya yang penuh jerawat itu diubah, lalu kulihat ibu itu membawa sebuah berlian agar segera dimasukkan ke dalam tubuhnya.
            Lalu setelah beberapa saat Paman menyuruhnya memejamkan mata…
            “Susuknya sudah dipasang?” Tanya ibu itu heran.
            “Ibu, sebenarnya yang dimaksud susuk itu adalah dengan menjaga kecantikan hati kita. Bila ibu ingin langsing, maka puasa senin-kamis. Bila ibu ingin wajahnya cerah, maka basuh muka ibu dengan air wudlu minimal lima kali sehari. Bila ibu takut kulitnya hitam, maka pakailah jilbab besar. Apalagi? Pengobatan susuk disini membenarkan nilai-nilai islamnya…” Pnjang lebar penjelasan Paman, hingga aku tersadar satu hal, Paman hanya kewalahan dengan cara berdakwahnya hingga akhirnya beliau memilih jalan begini.
            ---
*warisan doa KH. Marzuqi Romli                                                                             

Yogyakarta, 3 September 2009
                                                                                                Dimuat di MP Tiilawah XIX/2009

0 komentar: