Rabu, 01 Mei 2013



                                                                   

*Cerita pendek adalah karya Puryanti ’12 sebagai karya terbaik ketiga dalam sayembara menulis departemen PMB periode April 2013

Lagi dan lagi, Ara yang sebenarnya bernama Tiara, terheran-heran. Ini sudah kesekian kali cewek cantik ini mendapat kejutan secarik kertas yang berisi sketsa wajah dirinya yang tergeletak di bangkunya. Dan ia tak pernah tahu siapa  yang memberinya kejutan tidak biasa seperti ini. Yang  jelas, orang tersebut pastilah sangat pandai menggambar dan memperhatikan dirinya.
Sketsa tersebut mirip sekali dengan Ara yang aslinya. Saat Ara di kantin atau saat Ara sendirian, orang misterius itu akan mulai melukis – menggambar  Ara dan besok pagi-pagi sekali dia akan meletakkannya di bangku Ara. Setidaknya itulah yang kini ada di benak Ara.
Dan sketsa hari ini adalah gambar saat Ara tertawa bersama teman-temannya di kantin kemarin.
Jujur saja Ara penasaran sekali dengan orang misterius ini.
“Cie… yang  punya pengagum rahasia….”
Ara menoleh saat seseorang seperti menyenggol bahunya dan kata-kata yang barusan ia dengar, seperti tertuju untukknya.
“Apa sih…” elak Ara. Dan tidak salah lagi, Raisa – teman sekelasnya telah berdiri di sebelahnya sambil tersenyum aneh. Ara tahu dia sedang menggodainya.
“Loe buat gue iri tau. Baru satu bulan pidah ke sini, tapi sudah punya pengagum rahasia,” kata Raisa sebari duduk di bangkunya. Kebetulan juga Raisa ini satu bangku dengan Ara.
Ara mengikuti. Ia pun duduk di bangkunya – di sebelah Raisa. Ia lalu mengambil satu buah buku dari dalam tasnya dan membukanya. Ara meletakkan kertas sketsa wajahnya di sana.
“Hari ini sudah sketsa yang keberapa?” tanya Raisa, melihat dalam buku tersebut ada banyak kertas sketsa Ara.
“Dua puluh lima,” jawab Ara sebari menutup bukunya dan memasukkanya kembali ke dalam tas.
“Luar biasa, dia benar-benar pengagum sejati. Dan gue rasa dia jatuh cinta pada pandangan pertama,” komentar Raisa. Ia merasa demikian karena melihat jumlah kertas sketsa yang Ara sudah kumpulkan. Berarti sekitar setelah lima hari Ara pindah SMA-nya ini, orang tersebut sudah memperhatikan Ara.
“Loe tahu ga kira-kira siapa siswa di sini yang pandai menggambar?” tanya Ara melihat pada Raisa.
“Setahu gue yang di kelas 11 tidak ada. Ada sih yang bisa melukis, tapi itu cewek.”
“Dan ga mungkin juga cewek itu ngasih ke gue sketsa-sketsa seperti itu,” Ara melanjutkan ucapan Raisa dan lalu ia dan Raisa tertawa bersama.
Tet~
Bel masuk berbunyi. Ara dan Raisa mengahiri tawa mereka untuk melihat ke arah pintu kelas.  Para siswa dan siswi yang sekelas dengan  keduanya, nampak berbondong-bondong buru-buru memasuki kelas.
Ara dan Raisa jadi terpaksa mengahiri obrolan mereka.

*******

Ara berpikir terlalu keras tentang sketsa itu dan ia jadi tak sempat melihat ke sekelilingnya. Ia tak menyadari seseorang sedang berlari dari arah yang berlawanan.
Buk~
Dan pada ahirnya Ara dan seseorang tersebut jadi bertabrakan hingga keduanya sama-sama tersungkur ke lantai.
“Aww,” seru Ara memegangi pantatnya yang terasa sakit setelah berbenturan dengan lantai.
Sorry… sorry…” ucap seseorang tersebut dengan nada cepet-cepat.
Ara melihat pada seseorang tersebut yang nampak tergesa-gesa mengambili kertas-kertas yang berserakan di sekitar mereka berdua. Nampaknya seseorang yang baru bertabrakan dengannya ini menyukai menggambar.
Ada beberapa komik Naruto yang seperti buatan tangan sendiri, diantara kertas-kertas yang berserakan itu. Meski sekilas saja melihatnya,  Ara sudah merasa takjub dengan gambar-gambar tersebut karena terlihat begitu mirip dengan komik-komik asli yang dijual di toko-toko buku.
Entah kenapa tiba-tiba Ara jadi ingin mengambil dan melihat lebih dekat pada salah satunya. Diam-diam Ara mengambil kertas yang paling dekat dengannya.
Mendadak mata indahnya terbelalak. Cewek berambut lurus ini pun seketika berdiri. Ia tidak mendapati komik Naruto seperti halnya di kertas-kertas lain, malah sketsa wajah dirinya yang di sana.
Dan seseorang tersebut mulai menyadari seperti ada yang tidak beres. Ia pun lantas berdiri setelah selesai memunguti kertas-kertas miliknya.
Ara masih melihat   – menerawang pada kertas tersebut.
“Ini…,” lirih Ara yang tak ia lanjutkan. Ia terlalu terkejut dengan semua ini, ia jadi tak dapat berkata-kata.
Ara melihat pada seseorang tersebut – seorang cowok yang mengenakan seragam yang sama dengan dirinya. Mendadak cowok itu meraih lengan Ara, mengajak cewek cantik ini entah kemana.

                               *******

“Ini,” cowok itu menyodorkan sebuah kertas kepada Ara.
Dengan ragu-ragu Ara menerimanya. Masih dengan keterkejutan sebelumnya, Ara kini seolah ditimpa kembali sebuah kejutan yang lebih besar lagi. Dalam kertas tersebut terdapat gambar sketsa gadis kecil yang tengah tertawa lepas sambil bermain di pinggiran pantai. Ara terkejut tentu saja. Gadis kecil tersebut, Ara tahu persis. Gadis dalam sketsa tersebut merupakan Ara sendiri yang saat itu masih berusia 8 tahun.
Dari mana dan bagaimana bisa cowok di sebelahnya ini mendapatkan sketsa dirinya saat masih kecil? Ara langsung saja melihat pada cowok tersebut, kali ini lebih serius.
“Gue Fahrizal. Mungkin loe ga kenal gue, tapi gue tahu loe,” ujar cowok tersebut.
“Apa maksudnya semua ini? JELASIN!” teriak Ara pada ahirnya. Kebingunan demi kebingunan di kepalanya seolah mengaduk-aduk emosinya juga. Ia tidak butuh tahu nama atau apaun, Ara hanya butuh penjelasan tentang sketsa-sketsa yang diterimanya. Cowok ini – Fahrizal, terlalu bertele-tele.
“8 tahun yang lalu, saat gue sedang menggambar pemandangan pantai Anyer gue melihat sesuatu yang lebih indah untuk gue gambar. Seorang gadis kecil yang manis dan membuatku terpesona saat itu juga. Bahkan sampai detik ini gue ga pernah bisa lupa wajah gadis kecil itu. Gadis itu adalah dirimu, Tiara.”  Fahrizal masih dengan ketenangannya. Ia tak terpancing sama sekali dengan nada keras bicara Ara beberapa saat yang lalu.
Perlahan, Ara kembali dapat menguasai dirinya kembali. Ajaibnya, ia malah jadi takjub dengan Fahrizal. Ia benar-benar tak menyangka.  
“Saat gue ingin bertemu dan memberikan gambar itu sama loe, kata ayah gue, loe dan keluarga loe sudah meninggalkan Anyer. Yang ngebuat gue sedih saat itu, gue ga pernah tahu kapan gue bisa memberikan gambar itu dan ngungkapin perasaan gue ke loe. Tapi gue senang sekali saat melihat loe ada di sekolah gue satu bulan yang lalu. Gue jadi sering mencuri-curi pandangan sama loe, supaya gue bisa ngelukis loe secara diam-diam. Gue minta maaf.” Fahrizal bercerita panjang lebar.
Deg~
Deg~
Ara merasakan jantungnya mengetuk-mengetuk dari dalam sana. Jujur saja, Ara dari tadi tak melepaskan pandangannya pada sososk Fahrizal. Dan ia akui Fahrizal memang perfec : tinggi, dan… ganteng. Hati Ara jadi  seperti dipenuhi oleh bunga-bunga karena dikagumi sosok seperti Fahrizal.
“Kalau tahu kita satu sekolah sekarang, kenapa loe ga  nemuin gue dan memberikan sketsa itu secara langsung. Kenapa justru mengirimkan sketsa demi sketsa setiap hari?” tanya Ara.
“Itu tidak mungkin. Kalau gue memberikan sketsa itu secara langsung, gue ga bisa ngendaliin diri gue buat ngungkapin persaan gue ke loe.”
“Ungkapin aja, mungkin gue bisa pertimbangin semuanya.” Ara menutup bibirnya langsung, dan menepuk-nepuknya. Ia keceplosan, ia tak dapat menutupi kekagumannya pada Fahrizal. Sepertinya dirinya merasakan yang  Fahrizal alami,ia jatuh cinta pada pandangan pertama.
Fahrizal tersenyum kecil. Ia mengalihkan pandangannya dari Ara. Ia menerawang kembali ke depan – ke hamparan danau yang hijau. Tadi ia memang mengajak Ara ke danau dekat sekolah.
“Karena gue ga mungkin memiliki dirimu. Gue sudah dijodohkan  oleh orangtua gue. Dan setelah lulus SMA tahun ini, gue dan calon gue itu bakal tunangan dan melanjutkan kuliah bersama ke Paris. Gue hanya bisa sebatas nunjukin perasaan gue ke elo ini lewat sketsa-sketsa itu, agar loe bisa tahu bahwa ada seseorang yang selalu memperhatikan loe meski dia tak dapat menggapai loe.” Fahrizal menarik nafas beratnya. “Dan seharusnya gue ga ngngkapin semua ini. Loe… loe boleh sebut gue sebagai pecundang.” Fahrizal merasakan matanya menghangat. Ia kembali menarik nafas beratnya yang panjang. Ia tidak boleh menangis di sini -  sekarang. Demi Tuhan, kau cowok, Fahrizal. Bagaimana pun juga, pantang laki-laki menangis apalagi di depan cewek..
Tes~
Cairan bening yang telah mengumpul di pelupuk mata Ara pun perlahan mengalir juga, menuruni pipi cewek cantik itu. Ia seolah baru diangkat ke awang-awang dan dengan begitu saja ia dijatuhkan. Sakit, sakit sekali.
Seharusnya ia tadi menolak diajak Fahrizal. Seharus mereka tak pernah bicara apapun. Ia tidak akan merasakan sesakit ini – cinta yang diruntuhkan saat baru sesaat bersemi.  Kejam.

                  ~SEKIAN~

0 komentar: