Cerpen karya Wulan 2010 dalam sayembara menulis Departemen PMB CSS MoRA UA
Hujan subuh ini membuatku semakin
nyaman melanjutkan tidurku setelah sholat shubuh. Entah mengapa rasanya ada
peri-peri tidur kecil yang menyanyikan lagu nina bobok, sembari menarik-narik
kelopak mataku. Alhasil mereka pun berhasil. Padahal aku selalu diwanti-wanti oleh orang tua untuk tidak
tidur setelah shubuh. Kata ibunda Azam di film ketika cinta bertasbih kalau
tidur setelah shubuh itu, rejeki kita hilang dipatuk ayam.
Tak lama setelah aku terlenakan
oleh peri-peri kecil itu, akupun terbangun dengan perasaan agak terkejut. Waktu
di handphoneku menunjukkan pukul
06.15, padahal aku ada kuliah jam 7 tepat dan dosennya tidak akan memberi
toleransi. Waduh…bisa-bisa nanti aku disuruh tutup pintu dari luar. Akhirnya
aku melompat menuju kamar mandi dan melanjutkan untuk sholat dhuha. Tak lama
kemudian handphoneku bergetar dan sms
lewat memberi tahu bahwa kuliah pagi ini ditunda dan tidak ada kabar mengenai
kenapa dosennya tiba-tiba meniadakan kuliah hari ini.
Peri-peri tidur kecil itupun mulai berdatangan lagi
untuk menyanyikan lagu nina boboknya. Tapi kali ini aku yakin mereka tidak akan
berhasil, karena kantukku sudah tersembuhkan dengan dinginnya air pagi itu.
Entah mengapa tiba-tiba mataku tertarik pada gerak-gerik si ‘L’ ikan kokiku.
Yah, aku memang memelihara ikan koki dalam sebuah toples bening yang aku
letakkan diatas meja belajarku bersanding dengan buku-buku kuliahku.
Rintik-rintik hujan yang masih berlanjut sejak shubuh tadi membuatku terbawa
suasana. Akupun memandangi ‘L’ dan mulai malamun. Gerak-gerik ‘L’ membawa
pikiranku kembali ke sebuah suasana dimana hujan juga turun kala itu.
Hai ‘L’, sore itu adalah hari ahad.
Kebetulan semua anggota keluargaku sedang berkumpul. Suasana sore itu juga
hujan. Dan Kebetulan hujan sore itu adalah hujan pertama. Bau tanah yang
terkena tetesan air hujan menghasilkan bau yang khas dan harum. Ditambah lagi
tetesan air hujan yang tidak sebegitu deras membuat suasana sore itu menjadi
sangat lembut. Apalagi langit tidak sepenuhnya mendung, namun masih ada
beberapa cahaya matahari yang tersisa. Sehingga warna yang dihasilkan pun
sangat indah yaitu kuning kemerah-merahan. Kami sekeluarga akhirnya memutuskan
untuk menikmati suasana hujan pertama sore itu di teras rumah. Bocah-bocah desa
pun keluar rumah untuk bermain hujan-hujanan. Terlihat wajah mereka sangat
ceria dan gembira. Tidak ada satu pun kesombongan yang terlintas dari wajah
polos mereka. Semua berbaur menjadi satu dibawah tetesan air hujan. Cekikikan
tawa mereka semakin menambah irama hujan sore itu.
“Awaaaassssssssssssssssss……………….”.
teriak somat, putra bapak sanaji tetangga samping rumah yang melempar gumpalan
lumpur ke arah temannya.
“waduh, awas koen[1]?”,
timpal iqbal ketika terkena lemparan lumpur somat.
Akhirnya mereka pun saling lempar, dan perang lumpur
tak terlekakkan. Sungguh menurutku suasanannya tidak bisa dijelaskan secara
detail dalam sebuah karya novel sastra terbaik pun.
Semalaman hujan turun, pagi harinya
matahari terbit sangat cerah. Sinarnya mampu membangkitkan semangat warga desa.
Meskipun desa atau kampung halamanku tidak terletak di sebuah daerah pegunungan
atau dataran tinggi, tapi sawah yang luas masih terlihat hijau di depan dan di
belakang rumahku. Sebagian tetanggaku bekerja menjadi petani. Sebagian yang
lain menjadi karyawan swasta. Untuk bapakku sendiri bekerja menjadi supir
swasta, dan ibuku mengabdikan diri dirumah untuk merawat anak-anaknya termasuk
aku. Dahulu keluarga kami juga mempunyai beberapa bidang tanah sawah, namun
semua terjual habis karena kami membutuhkan uang saat itu. Begitu juga dengan
warga desa yang lain. Namun hal yang sama juga terjadi. Kini, hanya beberapa
orang saja yang masih mempunyai tanah sawah. Namun perbedaan tersebut tak
mengahalagi hubungan sosial antara warga desaku. Semua rukun, guyub, aman, dan
sejahtera.
Hai ‘L’ tahukah kau? Setiap panen tiba, bocah- bocah
di desaku selalu berbondong-bondong pergi kesawah untuk mengambil sisa-sisa
panen ngasah istilahnya. Sembari
‘memanen’ kami bermain petak umpet dan kejar-kejaran. Setalah lelah ‘memanen’
dan bermain, kami berkumpul di rumah salah satu warga untuk nguleni[2].
Setalah terkumpul sekitasr satu kantong plastic, kami menjualnya pada pemilik
sawah yang luas. Dan berapa ‘L’ yang kami dapat? Seribu rupiah. Jika
dibandingkan dengan sekarang mungkin jumlah uang tersebut tidak bisa dibelikan
apapun selain krupuk. Tapi, ketika itu dengan uang seribu rupiah, kami bisa
membeli es campur. Rasanya sangat segar dan nikmat ‘L’, dan satu lagi yang tak
terlupakan adalah kami meminumnya bersama-sama diatas pohon belimbing.
Tapi ‘L’, saat ini aku tidak bisa menikmatinya lagi.
Selain sudah dewasa, tapi sebagian petak sawah di desaku sudah berubah menjadi
perumahan. Sungai-sungai kecil di pinggiran sawah juga sudah mulai tertutup
oleh sampah warga dan juga semak belukar. Tidak ada lagi orang yang
membersihkannya, karena sungai tersebut sudah tidak digunakan lagi untuk
mengairi sawah mereka. Begitu juga dengan sawah yang disekitar rumahku. Kini
hanya ada sawah di bagian depan rumahku saja. Yang belakang uedah tertutup
tanah perumahan. Banyak hal telah berubah dikampung halaman ku, ‘L’.
orang-orang sudah jarang yang pergi ke sawah. Begitu juga bocah-bocah yang
sudah melupakan tradisi ngasah. Tapi
ada satu hal yang menurutku tidak berubah dari kampung halamaku, yaitu warganya
yang rukun, guyub, dan sejahtera. Terbukti ketika aku pulang kampung saat
liburan kuliah, mereka masih mengenaliku dan menyapaku dengan wajah gembira
mereka ,’L’. meskipun ada beberapa dari mereka yang lupa namaku, namun mereka
tetap menyapa meskipun hanya dengan senyuman.
Yah…’L’, suasana seperti inilah yang selalu
membuatku rindu untuk pulang ke kampung halamanku. Meskipun menurutmu cerita
kampung halamanku tidak sebegitu istimewa, ‘L’. tapi bagiku itu adalah segalanya.
Aku dibesarkan di sana ‘L’, meskipun hanya sampai kelas 6 SD. Karena setelah
lulus SD aku melanjutkan pendidikan ke pondok pesantren, dan kini kuliah di
Surabaya. Satu lagi ‘L’, meskipun menurutmu ceritaku ini sangat umum dan
sederhana. Tapi bagiku itu adalah sesuatu yang special. Jika aku boleh
menyampaikan sebuah pendapat, maka akan kukatakan bahwa meskipun kau pergi ke
paris untuk menikmati indanya menara eifeel malam hari, atau pergi ke jepang
menikmati bunga sakura di musim semi, atau pergi ke india menimati megahnya taj
mahal, bahkan ke beberapa daerah di Indonesia yang mempunyai gunung-gunung
indah. Namun semuanya tidak akan pernah mengalahkan keindahan dan kenyamanan
kampung halaman.
Satu lagi ‘L’, kemanapun kau pergi, tidak akan ada
satu hal yang paling merindukan selain tanah kelahiran, yaitu kampung halaman.
0 komentar:
Posting Komentar