Berikut cerpen buah pena dari saudari Rizki Mubarokah sebagai The Winner of The Month dalam sayembara menulis Departemen PMB CSS MoRA UA 2013 dan berhak mendapatkan hadiah cantik dari PMB. selamat membaca :)
“Ceprut…prut…prut.”
Suara
semprotan air dari Paman membuatku geli. Aku membayangkan muka pasien Pamanku,
pasti lucu sekali. Ah, Paman…
Aku
sedikit meyayangkan perbuatan Paman tersebut. Bagaimana bisa, Pamanku yang
dulunya lulusan pondok pesantren salafiyah dan seorang guru ngaji yang disegani
di desaku tiba-tiba berubah profesi, masih mending kalau menjadi guru agama di
madrasah atau guru apa sajalah, yang penting ilmunya tidak berhenti tetapi
bercabang karena diamalkan. Lha ini pamanku kok bisa-bisanya menjadi dukun
susuk. Apa tidak mengherankan?
Sejak
aku tahu kalau Pamanku beralih profesi, aku jarang bahkan tidak pernah lagi
kesana, orang tuaku juga membiarkan. Ibu malah pernah bilang padaku kalau Paman
telah murtad (naudzubillah…). Kata Ibu, godaan orang yang sangat pandai itu
besar.
Walaupun
rumah kami berdekatan dan hanya dibatasi tembok setinggi badan orang dewasa, kami tidak pernah saling menyapa
alasan keluargaku karena takut ketularan, kalau Pamn, mungkin arena banyaknya
tamu yang berkunjung ke tempat beliau sehingga paman akhirnya menjadi orang
sibuk.
Pernah
suatu ketika aku ingin melihat cara kerja Paman, tetapi setiap kuutarakan pada Ibu,
ibu malah menasehatiku panjang lebar.
“Kalaupun
ibu tidak mengizinkanmu, itu karena ibu sangat menyayngimu, ibu takut kamu
ketularan Pamanmu itu. Nanti saja kalau sudah waktunya kita akan
menyalesaikannya secara baik-baik, nak.” Panjang lebar ibu menasehatiku.
“Lihat, Bu Ratmi saja yang putrinya kyai sekarang jadi ikut-ikutan. Kemarin
niatnya mau menyadarkan Pamanmu, eh…sekarang malah keseret sendiri.”
“Emangnya
bu Ratmi sering ke rumah Paman, Bu?’
“Ibu
bilang beliau sudah keseret, ya otomatis dia sering datang lah, malahan
sekarang semua pakaian Bu Ratmi benar-benar tertutup. Ibu ngeri melihatnya.”
Ucap Ibu menggebu-gebu. Mungkin seperti inilah cara ibu-ibu tukang gossip yang
sedang beraksi J.
“Memangnya
baju seperti apa, Bu?”
“Ah
kamu, itu lho…baju yang menutup seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak
tangan.”
“Apa
ya?” aku tercengang.
---
Merem
nggak bisa, mau melek males, mungkin karena suara-suara mobil yang berdatangan
di rumah Paman itu yang membuatku susah tidur beberapa malam ini. Suara
mantera-mantera yang dibacakan Paman kembali menggema diantara derum
mobil-mobil itu. Kulihat jam yang sudah menunjukkan pukul 23.47. ah Paman,
semalam ini Paman belum tidur. Ucapku dalam hati.
“Allahumma nekto dinulu
ahub-ahub ing Allah, lailahaillallah muhammadurrosulullah salla Allahu ‘alaihi
wasallam. Allahumma roh amadep ing nurullah, somad-somad kelawan roh idhofi,
jism rupaku amadep ing cahaya, ning roh angadep uripku ing cahayane Allah…”*
Aku
kembali mendengar manteranya, sedikit aneh memang kata-katanya. Mantera itu
yang sudah kudengar berkali-kali dibaca bersama, meskipun kurang jelas aku tahu
itu mantera yang sama. Apalagi ketika malam jumat seperti ini. Setiap aku
mendengar mantera-mantera itu dibacakan, ada sesuatu yang kurasakan dalam
jiwaku, entah apa. Seperti tenang, sejuk, ataulah apa. Mungkin aku ingin
mengikutinya.
---
“Ima,
bangun, Nak. Sudah subuh, nanti kesiangan sholat subuhnya.” Suara Ibu terdengar seperti di mimpi. Ngantuk
sekali rasanya, mataku sulit dibuka. “Ima, ayo bangun, nanti kalau kesiangan
dimarahi Bapak.”
Aku
memaksa diri untuk bangun, kulihat Ibu menyiapkan seragam batik yang akan
kupakai hari ini.
Kulangkahkan
kaki juga menuju kamar mandi dan berwudlu. Lalu aku, bapak dan ibu sholat
berjamaah. Aku kaget, rasanya baru kali ini aku merasakan nikmatnya sholat
shubuh dengan tenang dan kantukku yang tiba-tiba hilang. Aku tidak tahu mengapa mantera-mantera itu
tiba-tiba muncul dalam ingatanku.
“Allahumma
nekto dinulu ahub-ahub ing Allah, lailahaillallah muhammadurrosulullah salla
Allahu ‘alaihi wasallam. Allahumma roh amadep ing nurullah…..”
Selesai sholat, bapak memberitahukan
keinginannya padaku dan ibu. Ternyata bapak berkeingina sama denganku, ingin
melihat aksi Paman dalam mengobati pasien-pasiennya.
“Lagi pula kita sudah mendiamkan Dek
Sulis (nama Paman) sudah lebih dari tiga hari bahkan satu bulan.” Bapak berkata
bijak.
Aku semangat mendengarkannya,
kulirik Ibu yang malah merengut seolah tidak setuju itu.
“Seperti hadits nabi, kita tidak
boleh mendiamkan saudara kita sesama muslim lebih dari tiga hari…”
“Tapi Dek Sulis itu sudah murtad,
Pak!” sanggah Ibu.
“Siapa yang bilang begitu, Bu? Ibu
itu kalau mau menilai sebuah rumah jangan dilihat dari luarnya saja, tapi masuk
dulu. Begitu pula ketika menilai seseorang.” Bapak menimpalli.
“Ah Bapak. Terserah lah. Ibu tidak
mau ikut-ikutan.”
---
Aku dan Bapak dibuat geli oelh Pamanku,
ketika ada ibu-ibu datang ke tempat praktek Paman, sebelumnya aku sedikit takut
ketika akan menyaksikan pengobatan susuk yang sering dibicarakn orang itu.
Ibu-ibu tadi dengan wajah tegang masuk ke rumah Paman.
“Assalamualaikum, Bu…” Sapa Paman
kepada ibu-ibu tadi, ibu itu kaget dan sejenak berfikir…
“Eh, waalaikumsalam.” Jawab ibu itu.
Ini benar dukun susuk yang terkenal itu?”
“Insya Allah.” Jawab Paman dengan
santainya.
Ibu itu lalu mengutarakan maksud
kedatangannya kepada Paman. Karena jarakku terlalu jauh, aku hanya bisa
mendengar sedikit obrolan mereka. Lalu aku berusaha mendekat, dan ternyata ibu
itu ingin agar tubuhnya yang super gendut dan wajahnya yang penuh jerawat itu
diubah, lalu kulihat ibu itu membawa sebuah berlian agar segera dimasukkan ke
dalam tubuhnya.
Lalu setelah beberapa saat Paman
menyuruhnya memejamkan mata…
“Susuknya sudah dipasang?” Tanya ibu
itu heran.
“Ibu, sebenarnya yang dimaksud susuk
itu adalah dengan menjaga kecantikan hati kita. Bila ibu ingin langsing, maka
puasa senin-kamis. Bila ibu ingin wajahnya cerah, maka basuh muka ibu dengan
air wudlu minimal lima kali sehari. Bila ibu takut kulitnya hitam, maka
pakailah jilbab besar. Apalagi? Pengobatan susuk disini membenarkan nilai-nilai
islamnya…” Pnjang lebar penjelasan Paman, hingga aku tersadar satu hal, Paman
hanya kewalahan dengan cara berdakwahnya hingga akhirnya beliau memilih jalan
begini.
---
*warisan doa KH. Marzuqi Romli
Yogyakarta, 3 September 2009
Dimuat
di MP Tiilawah XIX/2009
0 komentar:
Posting Komentar