*Cerita pendek karya Muhliseh '11 sebagai karya terbaik pertama dalam sayembara nulis departemen PMB periode April 2013
“Seni bukan
hanya partitur yang diekspresikan lewat
musik, pun pula warna yang dicurahkan
pada kanvas”
Aku dipaksa untuk belajar membunuh
ingin dan ambisiku menjadi pelukis, dan sebagai gantinya, setiap hari aku harus
mendengar ajaran ibu Rika yang rutin menjejal otakku dengan segala macam
partitur karya Bethoven ataupun sang maestro legendaris, Mozart, yang selalu
dikagum-kagumi oleh hampir seluruh pianis dunia. Aku akui itu karya yang hebat,
bernilai seni tinggi. Tapi seni tertinggi bagiku adalah seni lukis. Aku lebih
mengagumi Michaelangelo Buonarroti,
Pablo Ruiz Picasso dan tentu saja Leonardo da Vinci dengan mahakaryanya Monalisa dan the Last
Supper.
Obsesi Bundaku yang juga berprofesi sebagai musisilah
yang membuatku seperti ini. Rasanya seperti pengagum seni yang salah sasaran
menyalurkannya.
¤§¤
Hari ini seleksi masuk orkestra yang diadakan oleh Dewan Kesenian
Indonesia untuk mencari pemain-pemain berbakat di seluruh Indonesia. Dan sudah
barang tentu aku divorsir sejak 2 bulan lalu, terus berkutat dengan partitur
telah membuatku mencapai ambang batas kepenatanku. Aku lelah terus didikte.
Pagi buta sebelum orang rumah terbangun, aku sudah menyisir jalan
dengan mobil Mercedes Benz E Class tipe E 300 milik Papa. Entah kemana....
Mentari hendak tersenyum renyah, aku berhenti di suatu pantai. Sunrise
ini terlihat begitu memukau, sunyi sepi menambah romantisme kedamaian hati.
Sepi, mungkin hanya aku seorang di sini. Riuh ombak saling beradu dengan angin,
seolah membentuk simfoni yang lebih indah dari gubahan Mozart ataupun Bethoven.
“Aauu...” teriakku ketika tak sengaja tubuhku terbentur seseorang.
“Ehmm ! Gadis manis berjalan sendiri di pantai sepagi ini. Lagi
kabur dari masalah ya ?”
Mau apa laki-laki ini ?
“Maksud anda ?”
“Hanya membaca saja dari sinar matamu ”
“Anda siapa ? Berani sekali anda mengambil kesimpulan seperti itu”
“Perkenalkan, saya Leonardo Da Vinci” ia menjulurkan tangannya.
“Leonardo Da Vinci ?....haha...”tawaku meledak mendengar sosok
lelaki berperawakan brewok mengakui dirinya sebagai Leonardo Da Vinci. “Kalau
begitu aku adalah Monalisa”
Iapun turut tertawa mendengar jawabanku. “Teman-teman biasa
memanggil aku Vinci, pelukis yang gila mengejar pemandangan ekstrim. Kamu ?”
“Lisa”
“Tapi bukan Monalisa kan ?...hehe”
“Bukan, namaku Alisa Mafazyan ”
Sambil menyisir pantai dan membiarkan kaki dijilat oleh air laut
yang menepi, kami berbincang. Akupun larut menceritakan tentang ambisiku yang
harus rela terbunuh hanya untuk menjadi sang pianis hebat dambaan Bunda.
Aku diajaknya ke suatu bangunan atau mungkin lebih tepat menyerupai
rumah tak jauh dari pantai, ia sebut sebagai museum pribadi. 3 ruangan
masing-masing berukuran sekitar 10x10 meter itu dipenuhi berpuluh atau mungkin
seratusan lukisan.
Banyak cerita mengagumkan aku dapatkan dari orang yang baru saja
aku kenal ini, seperti saat ia berburu isnpirasi hingga ke pelosok hutan
memotret kehidupan primitif di atas kanvas di pedalaman Irian. Aku kagum
melihat karyanya, mendengar ceritanya.
“Mau lihat maha karya Leonardo da Vinci ?”
“Mana, om ?”
Segera ia menyingkap kain putih penutup kanvas berukuran 2x2 meter.
Nampaklah potret lukisan seorang wanita dengan rambut terurai bergaun biru tua
sedang tersenyum manis ke arahku, latar tempatnya mirip dengan Monalisa karya
Leonardo da Vinci yang asli.
“Monalisa 30 agustus 1994”ku baca goresan kecil di pojok kiri bawah
lukisan itu.
“Sudah ku bilang kan ? Ini mahakarya Leonardo da Vinci...hehe...”
“Dia siapa, om ?”
“Masa lalu. Ini lukisan pertamaku yang berukuran 2x2 waktu sekolah dulu”
“Pasti dia orang yang spesial”
“Hehe...seperti itulah. Tapi takdir tak mengizinkan kami bersatu,
karena dia terobsesi menjadi pianis hebat dan melanjutkan studinya ke Eropa. Dulu
aku sempat belajar sedikit tentang musik darinya, terutama piano. Kami sering
menghabiskan waktu dengan duet bermain piano atau sekedar membunuh waktu luang
akhir pekan di danau, untuk menemaniku melukis”
“Wah, romantis sekali ya, om ?Kalau boleh tahu siapa namanya, om ?”
“Rossa, ya Ika Aulia Rossa”
“Nama Bundaku juga Rossa, om...hehe..tapi Medhiana Rossary, Bundaku
juga seorang pianis, sempat belajar di Praha”
“Iya ? ”
“Iya, om”
Ku tolehkan pandangku pada 2 piano klasik yang saling berhadapan
terpajang di pojok ruangan.“Itu piano siapa, om ?”
“Dulu aku dengan Rossa sering memainkannya berdua, Rossa pengagum
Mozart, hampir semua 17 sonata untuk piano karya Mozart kami memainkannya”
“Wah, berarti om juga pintar main piano ya ?”
“Yah, begitulah. Mau duet dengan om ? kita mainkan gubahan Mozart,
symphoni no. 40”
“Ok Om”
Bergegaslah kami menuju piano itu yang sepertinya sudah lama tak
dipakai. Selama kurang lebih sepuluh menit kami bermain bersama. Jemarinya
lincah memainkan simfoni itu. Padahal dia sudah lama tidak memainkannya, malu
rasanya aku yang setiap hari akrab dengan tuts piano melihat keahliannya.
“Wah, om hebat, pintar melukis juga bisa main piano, jarang lhoh
orang kayak om ini, multi talenta”
“Jangan terlalu memuji. Justru memang seharusnya begitu, jika
mengaku pecinta seni, tidak hanya mengenal satu seni saja. karena seni itu
bukan musik, bukan lukis, bukan puisi, tapi seni adalah seni. Seni memiliki
keindahannya sendiri untuk menafsirkannya lewat lagu, lukisan, puisi ataupun
nyanyian. Tergantung kita sendiri mau memilihnya yang mana”
Ponselku berdering. Panggilan dari Bunda.
¤§¤
“Permisi, om...aku mau pulang dulu. Sebentar lagi aku ikut
kompetisi. Do’akan ya Om”
“Iya, good luck ya, Lisa. Kapan-kapan main ke sini lagi ya ?”
“Sip deh. Thanks, Om”
Segera aku menuju mobil untuk pulang. Lebih tepatnya menuju tempat
kompetisi karena 2 jam lagi sudah akan di mulai. Entah, aku sudah tidak punya
alasan yang kuat lagi untuk kabur atau menghindar dari kompetisi itu, karena
seni bukanlah musik, seni bukanlah lukis, tapi seni adalah seni. Aku adalah
pecinta seni yang akan mengungkapkan keagungan seniku dengan musik kali ini.
Terimakasih Om Vinci.
¤§¤
“Tampillah sebaik yang kamu bisa,
sayang...Bunda tidak akan memaksa kamu untuk menjadi yang terbaik”tukas Bunda
di sela-sela kegiatannya mendandaniku.
“Iya, Bunda itu pasti.....nanti Papa
ke sini kan buat ngeliat aku ?”
“Papa masih ada kerjaan, mungkin
akan telat datang. Ga’ apa-apa, kan sudah ada Bunda sama Danish”
Kak Danish ? Yah, si Mozart
junior yang Bunda banggakan.
“Peserta selanjutnya atas nama Alisa
Mafazyan dengan no peserta 48, akan membawakan karya Wolfgang Amadeus
Mozart, Elvira
Madigan, Symphony No. 40 in G Minor”
Hufh ! simfoni itu baru aku
mainkan dengan Om Vinci.Tenang, santai, mainkan.
Ku coba menetralisir gugup ini. Tenang,
santai, atur emosi dan mulailah menari wahai jari-jariku. Lagu ini, musik ini,
menyatulah dengan jiwaku. Tak ada lagi penat dan kejenuhan. Menyatulah dalam
jiwaku, mengalirlah dalam aliran darahku. Nyanyikanlah warna-warna yang selalu
ingin aku lukiskan. Gambarkanlah perasaan yang selalu ingin aku tuangkan lewat
kuas dan kanvas, berpadu menjadi alunan merdu pianoku ini. Saksikanlah, ini
simfoniku, ini sonataku.
Suara riuh tepuk tangan membangunkanku dari ruang fikirku. Sudah
selesai, telah usai ku tunaikan seni
musikku, simfoniku.
“Sayang, penampilan kamu bagus sekali....terimakasih sayang...”ucap
Bunda sambil memelukku seusai turun dari panggung.
¤§¤
Berangkat dari hidupku yang ku pandang sebagai sebuah dogma, dogma
yang kulihat tak ada bedanya menyerupai kaca jendela, aku menyaksikan kebenaran
melaluinya, dan terkadang di biaskan olehnya. Kebenaran tentang seni bahwa ia
tak pernah menyiksa penikmatnya untuk mengekspresikannya dengan musikkah,
dengan lukisan atau gambarkah? Semua itu sama. Sama-sama berklimaks pada seni,
seni yang agung, meski jalannya berbeda.
Yah, inilah aku. Si pengagum seni
yang mungkin dulu berfikir salah sasaran untuk melampiaskannya, tapi kini
kusadari seni tak pernah salah, tak pernah menuntut melalui apa dia ingin diungkapkan.
Lewat musik dan lukis. Karena seni adalah seni.
3 komentar:
selamat lisaa.. :)
kembali kasih, Nadia ^_^
Posting Komentar