*Cerita pendek adalah karya Puryanti ’12 sebagai karya terbaik ketiga dalam sayembara menulis departemen PMB periode April 2013
Lagi dan lagi,
Ara yang sebenarnya bernama Tiara, terheran-heran. Ini sudah kesekian kali
cewek cantik ini mendapat kejutan secarik kertas yang berisi sketsa wajah
dirinya yang tergeletak di bangkunya. Dan ia tak pernah tahu siapa yang memberinya kejutan tidak biasa seperti
ini. Yang jelas, orang tersebut pastilah
sangat pandai menggambar dan memperhatikan dirinya.
Sketsa tersebut
mirip sekali dengan Ara yang aslinya. Saat Ara di kantin atau saat Ara
sendirian, orang misterius itu akan mulai melukis – menggambar Ara dan besok pagi-pagi sekali dia akan
meletakkannya di bangku Ara. Setidaknya itulah yang kini ada di benak Ara.
Dan sketsa hari
ini adalah gambar saat Ara tertawa bersama teman-temannya di kantin kemarin.
Jujur saja Ara
penasaran sekali dengan orang misterius ini.
“Cie… yang punya pengagum rahasia….”
Ara menoleh saat
seseorang seperti menyenggol bahunya dan kata-kata yang barusan ia dengar,
seperti tertuju untukknya.
“Apa sih…” elak Ara. Dan tidak salah lagi,
Raisa – teman sekelasnya telah berdiri di sebelahnya sambil tersenyum aneh. Ara
tahu dia sedang menggodainya.
“Loe buat gue
iri tau. Baru satu bulan pidah ke sini,
tapi sudah punya pengagum rahasia,” kata Raisa sebari duduk di bangkunya.
Kebetulan juga Raisa ini satu bangku dengan Ara.
Ara mengikuti.
Ia pun duduk di bangkunya – di sebelah Raisa. Ia lalu mengambil satu buah buku
dari dalam tasnya dan membukanya. Ara meletakkan kertas sketsa wajahnya di
sana.
“Hari ini sudah
sketsa yang keberapa?” tanya Raisa, melihat dalam buku tersebut ada banyak
kertas sketsa Ara.
“Dua puluh
lima,” jawab Ara sebari menutup bukunya dan memasukkanya kembali ke dalam tas.
“Luar biasa, dia
benar-benar pengagum sejati. Dan gue rasa dia jatuh cinta pada pandangan
pertama,” komentar Raisa. Ia merasa demikian karena melihat jumlah kertas
sketsa yang Ara sudah kumpulkan. Berarti sekitar setelah lima hari Ara pindah
SMA-nya ini, orang tersebut sudah memperhatikan Ara.
“Loe tahu ga kira-kira siapa siswa di sini yang
pandai menggambar?” tanya Ara melihat pada Raisa.
“Setahu gue yang
di kelas 11 tidak ada. Ada sih yang
bisa melukis, tapi itu cewek.”
“Dan ga mungkin juga cewek itu ngasih ke gue sketsa-sketsa seperti
itu,” Ara melanjutkan ucapan Raisa dan lalu ia dan Raisa tertawa bersama.
Tet~
Bel masuk
berbunyi. Ara dan Raisa mengahiri tawa mereka untuk melihat ke arah pintu
kelas. Para siswa dan siswi yang sekelas
dengan keduanya, nampak
berbondong-bondong buru-buru memasuki kelas.
Ara dan Raisa
jadi terpaksa mengahiri obrolan mereka.
*******
Ara berpikir
terlalu keras tentang sketsa itu dan ia jadi tak sempat melihat ke sekelilingnya.
Ia tak menyadari seseorang sedang berlari dari arah yang berlawanan.
Buk~
Dan pada ahirnya
Ara dan seseorang tersebut jadi bertabrakan hingga keduanya sama-sama
tersungkur ke lantai.
“Aww,” seru Ara
memegangi pantatnya yang terasa sakit setelah berbenturan dengan lantai.
“Sorry… sorry…” ucap seseorang tersebut
dengan nada cepet-cepat.
Ara melihat pada
seseorang tersebut yang nampak tergesa-gesa mengambili kertas-kertas yang
berserakan di sekitar mereka berdua. Nampaknya seseorang yang baru bertabrakan
dengannya ini menyukai menggambar.
Ada beberapa
komik Naruto yang seperti buatan tangan sendiri, diantara kertas-kertas yang
berserakan itu. Meski sekilas saja melihatnya, Ara sudah merasa takjub dengan gambar-gambar
tersebut karena terlihat begitu mirip dengan komik-komik asli yang dijual di toko-toko
buku.
Entah kenapa
tiba-tiba Ara jadi ingin mengambil dan melihat lebih dekat pada salah satunya.
Diam-diam Ara mengambil kertas yang paling dekat dengannya.
Mendadak mata
indahnya terbelalak. Cewek berambut lurus ini pun seketika berdiri. Ia tidak
mendapati komik Naruto seperti halnya di kertas-kertas lain, malah sketsa wajah
dirinya yang di sana.
Dan seseorang
tersebut mulai menyadari seperti ada yang tidak beres. Ia pun lantas berdiri
setelah selesai memunguti kertas-kertas miliknya.
Ara masih
melihat – menerawang pada kertas tersebut.
“Ini…,” lirih
Ara yang tak ia lanjutkan. Ia terlalu terkejut dengan semua ini, ia jadi tak
dapat berkata-kata.
Ara melihat pada
seseorang tersebut – seorang cowok yang mengenakan seragam yang sama dengan
dirinya. Mendadak cowok itu meraih lengan Ara, mengajak cewek cantik ini entah
kemana.
*******
“Ini,” cowok itu
menyodorkan sebuah kertas kepada Ara.
Dengan ragu-ragu
Ara menerimanya. Masih dengan keterkejutan sebelumnya, Ara kini seolah ditimpa
kembali sebuah kejutan yang lebih besar lagi. Dalam kertas tersebut terdapat
gambar sketsa gadis kecil yang tengah tertawa lepas sambil bermain di pinggiran
pantai. Ara terkejut tentu saja. Gadis kecil tersebut, Ara tahu persis. Gadis
dalam sketsa tersebut merupakan Ara sendiri yang saat itu masih berusia 8
tahun.
Dari mana dan
bagaimana bisa cowok di sebelahnya ini mendapatkan sketsa dirinya saat masih
kecil? Ara langsung saja melihat pada cowok tersebut, kali ini lebih serius.
“Gue Fahrizal.
Mungkin loe ga kenal gue, tapi gue
tahu loe,” ujar cowok tersebut.
“Apa maksudnya
semua ini? JELASIN!” teriak Ara pada ahirnya. Kebingunan demi kebingunan di
kepalanya seolah mengaduk-aduk emosinya juga. Ia tidak butuh tahu nama atau apaun,
Ara hanya butuh penjelasan tentang sketsa-sketsa yang diterimanya. Cowok ini –
Fahrizal, terlalu bertele-tele.
“8 tahun yang
lalu, saat gue sedang menggambar pemandangan pantai Anyer gue melihat sesuatu
yang lebih indah untuk gue gambar. Seorang gadis kecil yang manis dan membuatku
terpesona saat itu juga. Bahkan sampai detik ini gue ga pernah bisa lupa wajah gadis kecil itu. Gadis itu adalah dirimu,
Tiara.” Fahrizal masih dengan
ketenangannya. Ia tak terpancing sama sekali dengan nada keras bicara Ara
beberapa saat yang lalu.
Perlahan, Ara
kembali dapat menguasai dirinya kembali. Ajaibnya, ia malah jadi takjub dengan
Fahrizal. Ia benar-benar tak menyangka.
“Saat gue ingin
bertemu dan memberikan gambar itu sama loe, kata ayah gue, loe dan keluarga loe
sudah meninggalkan Anyer. Yang ngebuat
gue sedih saat itu, gue ga pernah
tahu kapan gue bisa memberikan gambar itu dan ngungkapin perasaan gue ke loe.
Tapi gue senang sekali saat melihat loe ada di sekolah gue satu bulan yang
lalu. Gue jadi sering mencuri-curi pandangan sama loe, supaya gue bisa ngelukis loe secara diam-diam. Gue minta
maaf.” Fahrizal bercerita panjang lebar.
Deg~
Deg~
Ara merasakan
jantungnya mengetuk-mengetuk dari dalam sana. Jujur saja, Ara dari tadi tak
melepaskan pandangannya pada sososk Fahrizal. Dan ia akui Fahrizal memang perfec : tinggi, dan… ganteng. Hati Ara
jadi seperti dipenuhi oleh bunga-bunga
karena dikagumi sosok seperti Fahrizal.
“Kalau tahu kita
satu sekolah sekarang, kenapa loe ga nemuin gue dan memberikan sketsa itu
secara langsung. Kenapa justru mengirimkan sketsa demi sketsa setiap hari?”
tanya Ara.
“Itu tidak
mungkin. Kalau gue memberikan sketsa itu secara langsung, gue ga bisa ngendaliin diri gue buat
ngungkapin persaan gue ke loe.”
“Ungkapin aja,
mungkin gue bisa pertimbangin semuanya.” Ara menutup bibirnya langsung, dan
menepuk-nepuknya. Ia keceplosan, ia tak dapat menutupi kekagumannya pada
Fahrizal. Sepertinya dirinya merasakan yang
Fahrizal alami,ia jatuh cinta pada pandangan pertama.
Fahrizal
tersenyum kecil. Ia mengalihkan pandangannya dari Ara. Ia menerawang kembali ke
depan – ke hamparan danau yang hijau. Tadi ia memang mengajak Ara ke danau
dekat sekolah.
“Karena gue ga
mungkin memiliki dirimu. Gue sudah dijodohkan
oleh orangtua gue. Dan setelah lulus SMA tahun ini, gue dan calon gue
itu bakal tunangan dan melanjutkan kuliah bersama ke Paris. Gue hanya bisa sebatas
nunjukin perasaan gue ke elo ini
lewat sketsa-sketsa itu, agar loe bisa tahu bahwa ada seseorang yang selalu
memperhatikan loe meski dia tak dapat menggapai loe.” Fahrizal menarik nafas
beratnya. “Dan seharusnya gue ga ngngkapin
semua ini. Loe… loe boleh sebut gue sebagai pecundang.” Fahrizal merasakan
matanya menghangat. Ia kembali menarik nafas beratnya yang panjang. Ia tidak
boleh menangis di sini - sekarang. Demi
Tuhan, kau cowok, Fahrizal. Bagaimana pun juga, pantang laki-laki menangis apalagi
di depan cewek..
Tes~
Cairan bening
yang telah mengumpul di pelupuk mata Ara pun perlahan mengalir juga, menuruni
pipi cewek cantik itu. Ia seolah baru diangkat ke awang-awang dan dengan begitu
saja ia dijatuhkan. Sakit, sakit sekali.
Seharusnya ia
tadi menolak diajak Fahrizal. Seharus mereka tak pernah bicara apapun. Ia tidak
akan merasakan sesakit ini – cinta yang diruntuhkan saat baru sesaat bersemi. Kejam.
~SEKIAN~
0 komentar:
Posting Komentar